Siedoo.com -
Nasional

Refleksi Harkitnas, Bangun Jiwa Raga Dengan Karakter dan Sikap

“………………
Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya
……………………..”

Sepenggal syair lagu kebangsaan Indonesia Raya ciptaan WR Soepratman menunjuk sebuah ajakan kepada rakyat Indonesia jiwa dan badannya bangkit membangun demi Indonesia. Bagaimanakah setelah 110 tahun sejak perkumpulan Budi Utomo lahir? Apakah kita sudah bangun jiwa dan badan kita untuk Indonesia?

Hari Kebangkitan Nasional diperingati setiap tanggal 20 Mei. Sebagai wujud bangsa Indonesia mengenang sejarah perjuangan para pendahulu memerdekakan negeri dari belenggu penjajahan dan kebodohan. Tanggal yang dipilih adalah tanggal berdirinya perkumpulan Budi Utomo yang diprakarsai R. Soetomo atas gagasan Dr. Wahidin Sudirohusodo.

Perjalanan panjang perjuangan menjadi romantika bangsa Indonesia hingga memproklamasikan diri yang selanjutnya membangun bangsa dan negara sejajar dengan bangsa-bangsa di dunia. Namun, setelah Indonesia merdeka masih saja ada pihak-pihak yang mengusik persatuan dan kesatuan bangsa. Seperti dari luar maupun dari dalam negeri dengan berbagai cara, baik secara kasar atau secara halus.

Bahkan sudah memasuki 72 tahun merdeka, masih banyak masalah yang harus dihadapi bangsa Indonesia. Selain kebodohan dan kemiskinan, juga kriminalitas dan terorisme. Lebih dari itu, tindakan-tindakan merusak generasi muda semakin jelas di hadapan mata seperti peredaran narkoba dan tawuran.

Membenahi Dunia Pendidikan Kunci Membangun Bangsa

Kemajuan sebuah bangsa dilihat dari kemajuan pendidikan bangsa itu. Bahkan, budaya bangsa berkembang seiring majunya pendidikan pada bangsa yang bersangkutan. Rendahnya pendidikan memicu munculnya kebodohan. Kebodohan menjadi akar tumbuhnya kemiskinan dan tindak kejahatan.

Maka kunci membangun bangsa ini dimulai dari pembenahan dunia pendidikan. Pendidikan ala Indonesia sebetulnya sudah dirintis dan dicontohkan pejuang kita seperti RA Kartini, Dewi Sartika atau Bapak Pendidikan kita Ki Hadjar Dewantara.

Baca Juga :  Pengamat : Kebijakan Pendidikan yang Hit and Run

Sebenarnya masih relevan untuk diterapkan dengan disesuaikan kemajuan zaman. Namun, tetap berorientasi pada kearifan bangsa Indonesia.

Kurikulum pendidikan kita masih cenderung meniru atau mengacu kurikulum negara lain. Sementara secara sosial, ekonomi maupun kulturnya sangat berbeda bila diterapkan di negara kita. Hingga saat ini para pengambil kebijakan dunia pendidikan belum menemukan atau merumuskan “kurikulum baru” asli Indonesia.

Pendidikan yang baik akan membentuk karakter generasi muda sebagai penentu kelangsungan hidup bangsa. Maka, pendidikan dengan kurikulum buatan anak-anak Indonesia bercorak Indonesia menjadi sesuatu yang vital bagi bangsa Indonesia itu sendiri.

Model pendidikan yang diajarkan Ki Hadjar Dewantara memunculkan banyak tokoh pembangun bangsa. Maka diharapkan pembenahan dunia pendidikan ke depan mampu menghasilkan manusia-manusia cerdas, tangguh, dan berkarakter Indonesia.

Penulis berpendapat bahwa pembenahan dunia pendidikan sangat penting. Boleh dikatakan sebagai kunci membangun bangsa. Hal ini mengingat pendidikan dengan kurikulum yang ada saat ini masih belum mampu menghasilkan banyak tokoh pembangun bangsa. Meskipun ada namun masih terbatas jumlahnya.

Perumusan Peraturan atau Undang-Undang yang Tidak Berpotensi Benturan

Membangun jiwa dan badan untuk Indonesia tentu berlandaskan aturan dan hukum. Berpedoman pada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dalam membuat sebuah peraturan menjadi hal yang mutlak. Kemudian apa maksud peraturan dan UU yang tidak berpotensi benturan?

Dalam merancang sebuah peraturan atau UU selain tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, maka harus melihat peraturan lain yang sudah ada. Apakah nantinya bila sudah disahkan dan diberlakukan berpotensi benturan dengan peraturan dan UU yang sudah ada atau tidak. Sehingga, benar-benar peraturan atau UU yang melindungi semuanya.

Contoh maraknya kasus pendidik yang dipenjara gara-gara mencubit atau menghukum siswanya. Kasus itu karena adanya peraturan yang berbenturan. Satu sisi pasal HAM, satu sisi penegakan disiplin dan pendidikan karakter di sekolah.

Baca Juga :  Berikut Langkah Kemendikbud Menghidupkan Pendidikan Paska Tsunami

Pendidikan sejak zaman Ki Hadjar Dewantara hingga dekade terakhir memang berganti-ganti kurikulum. Semua berjalan dengan wajar, dinamis selaras kemajuan zaman. Namun, munculnya Komnas HAM, muncul kendala dalam dunia pendidikan yang berpotensi hilangnya karakter pada anak didik.

Penegakan disiplin zaman Ki Hadjar Dewantara dibolehkan dengan menyentil atau memukul tangan bila siswa melanggar aturan sekolah. Bahkan, agama pun membolehkan memukul anak akil baligh (sudah mampu membedakan baik-buruk) bila dia membandel. Dengan maksud anak itu kelak menjadi generasi yang baik dan berkarakter mulia. Bukan dimaksudkan menganiaya.

Namun, sejak berdirinya Komnas HAM di mana memuat pasal kekerasan pada anak yang secara global tanpa pengecualian, membuat banyak siswa yang melanggar aturan, tidak memiliki tata karma, berani dengan guru/orang tua, tidak memiliki karakter mulia, bahkan berani melakukan tindak kejahatan (kriminalitas), serta berkarakter kebarat-baratan.
Kasus di atas hanya contoh kecil tentang akibat tak memiliki karakter dan sikap sebagai generasi Indonesia. Kasus lain masih banyak seperti maraknya kasus pelecehan seksual terhadap anak, pemerkosaan, dan tindak kriminalitas lainnya.

Apakah generasi yang seperti itu mampu menjabarkan “bangunlah jiwanya, bangunlah badannya” dalam syair Indonesia Raya? Jauh panggang dari api.

Tentu bukan seperti itu harapan kita, bukan pula harapan bangsa ini. Sehingga, peringantan Hari Kebangkitan Nasional ke-110 ini perlu dijadikan momentum untuk melihat bagaimana dunia pendidikan dan dunia hukum kita. Sudah “bercita rasa Indonesia” atau masih mempertahankan “cita rasa manca negara”?

Jiwa Raga Tetap Waspada

Meskipun keadaan bangsa Indonesia masih belum seperti harapan cita-cita proklamasi, namun setidaknya bangsa kita telah merdeka dalam mengarahkan laju bangsa ini menuju pantai sejahtera sentosa. Kehebatan sebuah bangsa bukan karena umurnya, bukan karena ipteknya, bukan pula karena banyak penduduknya. Umur negara Mesir sudah ribuan tahun, namun bukan negara hebat.

Baca Juga :  Dalam Pendidikan dan Karir, Disabilitas Harus Memiliki Kesempatan yang Sama

Amerika memiliki iptek yang canggih, juga belum hebat. India memiliki penduduk yang banyak namun juga masih belum disebut negara hebat.
Sekarang kita tengok Jepang. Umur negara itu jauh lebih muda dibanding Mesir, ipteknya masih kalah dibanding Amerika, penduduknya pun kalah banyak dengan India. Namun Jepang adalah negara hebat. Mengapa demikian?

Karena bangsa Jepang memiliki sikap yang baik. Sikap menghormati tradisi dan sejarah. Dunia pendidikan dan dunia hukum bercita rasa Jepang dengan bumbu kearifan tradisi negara itu.
Maka marilah kita benar-benar bangun jiwa dan badan kita.

Jiwa bangun agar mampu berpikir dan bertindak untuk Indonesia. Bangun badan berkarya untuk Indonesia dengan memiliki sikap (attitude) yang baik. Namun, jiwa raga kita tetap harus waspada. Karena masih tetap ada pihak-pihak yang tidak ingin Indonesia ini menjadi bangsa cerdas, menjadi bangsa hebat, bersatu dan damai sentosa.

Ronggowarsito mengatakan “Sabegja-begjane wong kang lali, luwih begja wong kang eling lan waspada” (seuntung-untungnya orang lupa, masih untung orang yang ingat dan waspada). Ingat akan diri kita, ingat akan leluhur, ingat kepada Sang Pencipta. Selalu waspada terhadap godaan dan marabahaya yang tidak kita sangka dari mana datangnya.

 

*Narwan, S.Pd
Guru SD Negeri Jogomulyo, Kecamatan Tempuran,
Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah.

 

Apa Tanggapan Anda ?