Siedoo.com -
Nasional

Simak Penjelasan Larangan Kampanye di Tempat Pendidikan dan Sanksinya

JAKARTA – Musim kampanye Pileg dan Pilpres 2019 sudah dimulai sejak 23 September lalu. Batasnya sampai 13 April 2019, tahun depan.

Ada rambu-rambu yang wajib dipatuhi bagi calon legislatif ataupun calon presiden, terutama perihal tempat kampanye. Di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu atau (UU Pemilu) diatur bahwa tempat pendidikan dilarang sebagai tempat kampanye.

Hal ini sebagaimana tercantum dalam pasal 280 ayat 1. Bunyinya “Pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang: (h). menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.”

“Tidak boleh lah, itu jelas,” kata anggota Bawaslu Rahmat Bagja dilansir dari detik.com.

Pernyataan tersebut juga diperkuat oleh Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Ditegaskan larangan kampanye di lembaga pendidikan bagi seluruh peserta Pemilu 2019, termasuk di dalamnya calon anggota DPD RI.

Selain di lembaga pendidikan, Wahyu juga mengingatkan kampanye tak boleh dilakukan di tempat ibadah.

“Selama masa kampanye, tidak boleh kampanye dilakukan di tempat ibadah juga di lembaga pendidikan,” kata Wahyu dilansir dari tribunnews.com.

Lembaga pendidika bisa berupa lembaga pendidikan formal maupun nonformal. Dalam hal ini, pesantren juga termasuk sebagai lembaga pendidikan yang tidak boleh digunakan sebagai tempat kampanye.

“Iya, pesantren termasuk. Dalam aturan itu lembaga pendidikan termasuk formal dan nonformal,” terang Wahyu.

Saat ini, metode kampanye yang sudah boleh dilakukan berupa rapat tertutup, seperti pertemuan terbatas, forum-forum kecil yang dilaksanakan dalam ruangan, atau blusukan tatap muka.

Metode kampanye rapat umum alias di tempat terbuka, baru boleh dilakukan 21 hari menjelang masa akhir kampanye, yaitu 24 Maret-13 April 2019.

“Pertemuan tatap muka boleh saja, saat ini memang saat berkampanye. Yang enggak boleh kampanye rapat umum,” ujar Wahyu.

Baca Juga :  Patungan Dana, Bantu Kuliah Anak tak Mampu

Pelaksanaan kampanye, baik tempatnya maupun metodenya, diawasi Bawaslu. Jika melanggar akan ditindak.

Dalam Kacamata Mendagri

Di sisi lain, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan berdasarkan UU Pemilu peserta pemilu dibolehkan untuk hadir ke tempat ibadah dan pendidikan. Hal ini menurutnya, dapat dilakukan jika peserta pemilu menjadi tamu undangan dan tidak membawa atribut kampanye.

“Jadi penjelasan pasal 280 ayat 1 huruf membolehkan peserta pemilu hadir ketempat ibadah, ke tempat pendidikan dan kantor pemerintahan jika hadir karena adanya undangan dan tanpa atribut kampanye pemilu,” katanya sebagaimana ditulis detik.com.

Dia menegaskan peserta pemilu memang dilarang mejadikan sekolah dan pesantren untuk tempat berkampanye. Namun, bila hadir menjadi narasumber dalam sosialisasi yang mendidik masyarakat maka hal tersebut dapat dilakukan.

“Kehadirannya tentu tidak boleh dalam rangka berkampanye pilpres dan caleg, sebagaimana larangan UU. Tetapi dalam konteks menjadi narasumber dalam program sosialisasi pemilu cerdas, menolak politik uang, menolak politisasi SARA, menolak hoax dan menjaga persatuan kesatuan bangsa dan lain-lain yang bersifat mendidik masyarakat, adalah hal baik,” kata Tjahjo.

“Misalnya hadiri undangan kampus yang melakukan sosialisasi dalam bentuk kampanye atau gerakan bersama anti politik uang dan anti hoax. Saya kira boleh-boleh saja, apalagi jika penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) juga hadir pasti sangat mendidik masyarakat dan siswa atau mahasiswa,” sambungnya.

Meski begitu, Tjahjo mengatakan harus ada koordinasi antara penanggung jawab lembaga, peserta pemilu dan penyelenggara pemilu. Hal ini dimaksud untuk mencegah terjadinya masalah dalam pelaksanaan acara.

Sanksi Dua Tahun Penjara dan Denda Uang Rp 24 Juta

Bila peserta pemilu melanggar, ada sanksinya. Komisioner Bawaslu Mochammad Afifuddin menegaskan, jika terbukti kampanye di tempat pendidikan, peserta pemilu bisa dinyatakan melanggar Pasal 521 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.

Baca Juga :  ITS dan Gojek Berpotensi Memajukan UMKM

Sanksinya, bisa berupa denda hingga hukuman pidana. “Sesuai Pasal 521 (Undang-Undang Pemilu), sanksinya pidana paling lama 2 tahun dan denda (Rp 24 juta),” kata Afif dilansir dari kompas.com.

Tiga Poin Penting Kampanye

Divisi Penyelesaian Sengketa Bawaslu Jateng, Heru Cahyono menjelaskan pengertian kampanye.

Menurutnya kampanye adalah kegiatan peserta pemilihan atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan atau citra diri peserta Pemilu.

Dia mengatakan, ada 3 poin penting yang perlu dipahami dari pengertian kampanye tersebut. Yakni peserta pemilu, pihak lain, dan citra diri.

“Unsur citra diri bagi partai politik untuk pemilu anggota DPR, DPRD berupa tanda gambar dan nomor urut partai politik. Bagi calon anggota DPD berupa foto dan nomor urut calon. Kemudian bagi parpol untuk Pemilu Presiden dan wakil Presiden berupa foto dan nomor urut pasangan calon,” ucap Heru Cahyono dilansir dari kumparan.com.

Terkait kegiatan kampanye yang harus dilakukan, lanjut dia, di antaranya pertemuan terbatas, tatap muka, penyebaran bahan kampanye, pemasangan alat peraga kampanye (APK), kampanye di media sosial dan debat paslon. Semua itu harus dilakukan sesuai dengan ketentuan aturan.

“Terkait APK, Bawaslu diharapkan secepatnya untuk memberikan surat kepada KPU untuk menindaklanjuti pemasangan APK yang dibuat resmi oleh KPU. Desain yang rumit jangan dijadikan alasan menghambat terjadinya keterlambatan APK. Hal ini dikhawatirkan akan terjadinya gugatan oleh pihak peserta Pemilu,” jelasnya. (Siedoo)

Apa Tanggapan Anda ?