BOGOR – Institut Pertanian Bogor (IPB University) melakukan beberapa riset terkait Covid-19. Hasil-hasil riset baik terhadap ekonomi makro maupun ketahanan pangan, dapat menjadi bahan penting untuk dijadikan landasan kebijakan bagi pemerintah.
Demikian diungkapkan Rektor IPB University Prof Dr Arif Satria, di laman ipb.ac.id (20/6/2020).
Arif Satria juga menginginkan bahwa kebijakan-kebijakan yang diambil selama pandemi adalah kebijakan yang berbasis pada saintifik. Karena menurutnya, dengan adanya kekuatan sains maka kebijakan akan lebih efektif dalam menjawab persoalan.
Prof. Dr. Euis Sunarti, dosen IPB University yang merupakan Guru Besar Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia (Fema) melakukan kajian terhadap ketahanan keluarga saat pandemi Covid-19. Kajian dilakukan sejak Maret 2020 dengan didahului survey online yang diikuti 1.337 responden. Dari total responden tersebut tiga perempatnya berpendidikan tinggi, dan sebagian besar terkategori tidak miskin.
Hasil kajian tersebut disampaikan melalui acara Webinar The 14th IPB Strategic Talk yang diselenggarakan oleh Direktorat Publikasi Ilmiah dan Informasi Strategis (DPIS), IPB University, Jumat (19/6/2020).
Pemaparan hasil kajian ditanggapi oleh tiga orang pembahas. Yaitu Prof. Dr. dr. Fasli Jalal, Dr. Lala M. Kolopaking. Serta Ir. Tubagus Achmad Choesni, M.A., M.phil, Deputi Bidang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan dan Perlindungan Sosial, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) RI.
Prof. Dr. Euis Sunarti menyampaikan hasil kajiannya, bahwa Covid-19 ternyata telah memunculkan gangguan ketahanan pangan, tekanan ekonomi, dan stres, serta menurunnya kesejahteraan keluarga. Hanya 38,7 persen responden yang memiliki tabungan untuk memenuhi kebutuhan keluarga sampai 6 bulan. Bahkan 53 persen responden mengakui hanya memiliki tabungan kurang dari 2 bulan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Demikian halnya hasil survey pada bulan kedua pandemi menunjukkan hasil yang relatif senada. Tingginya tekanan ekonomi keluarga terjadi seiring dengan beragam pemutusan hubungan kerja (PHK) dan terhentinya kegiatan ekonomi masyarakat.
Sebagai solusi dalam upaya mencegah krisis keluarga, Euis mengharapkan agar ketahanan fisik ekonomi, ketahanan sosial, ketahanan psikologis dan kelentingan keluarga tetap dijaga. Dengan jalan kementerian dan lembaga terkait agar melakukan penanggulangan pandemi yang efektif, bantuan ekonomi keluarga, jaminan ketahanan pangan dan dukungan sosial keluarga.
Menurutnya resiliensi keluarga dalam menghadapi pandemi sangat tinggi. Ini bisa menjadi modal sosial dalam menghadapi pandemi dan memulihkan kondisi pasca pandemi. Hal ini sangat dipengaruhi oleh dukungan sosial dan sistem kepercayaan.
“Resiliensi merupakan hasil investasi selama ini dalam menjaga kualitas keagamaan, komunikasi, dan lain-lain. Sehingga kemampuan ini harus benar-benar dibangun dalam keluarga Indonesia,” jelasnya.
Untuk itu menjadi penting peran dari pembangunan ramah keluarga, yakni menjadikan keluarga sebagai basis kebijakan publik. Juga menjamin keluarga berketahanan dan berkualitas, pembangunan wilayah dan pekerjaan ramah keluarga, optimalisasi-sustainabilitas daya dukung alam dan optimalisasi daya tampung lingkungan.
“Dibutuhkan peran pemerintah, akademisi, komunitas, pelaku usaha dan media. Yaitu untuk mendukung agar menjadikan keluarga sebagai institusi utama dan memastikan dimensi kehidupan berjalan dengan baik,” tandas Euis. (Siedoo)