Siedoo.com -
Internasional

10 Negara ASEAN Bahas Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus

SURABAYA – Anak berkebutuhan khusus juga berhak mengenyam bangku pendidikan. Hal ini setidaknya menjadi pembahasan dalam The International Conference of Special Education (ICSE) ke-3 Tahun 2019 di Surabaya, Jawa Timur.

Kesempatan ini diikuti 10 negara di Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) dan berbagai negara di dunia. Konferensi ini merupakan wujud komitmen bersama negara-negara ASEAN untuk menggelorakan pentingnya pendidikan khusus.

Konferensi diharapkan dapat menjadi wadah untuk untuk berbagi informasi sekaligus menghasilkan solusi tentang pelayanan bagi anak berkebutuhan khusus. Tema yang diambil “Elevating Innovation for Sustainable Development of Special Needs Education“.

“Komitmen ini menjadi kesadaran kita semua, negara-negara ASEAN. Ayo beramai-ramai mendidik anak-anak berkebutuhan khusus,” kata Staf Ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) bidang Inovasi dan Daya Saing, Ananto Kusuma Seta.

Dinyatakan, pendidikan itu adalah hak azasi dasar bagi setiap orang. Dalam SDGs (Sustainable Development Goals) diamanatkan pada akhir 2030 semua anak-anak usia sekolah harus mendapatkan layanan pendidikan.

“Jika selama ini anak-anak berkebutuhan khusus terpinggirkan, maka (dengan ini) tidak boleh lagi terjadi,” imbuh Ananto.

Konferensi tersebut digelar  Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus bekerja sama dengan The Southeast Asian Ministers of Education Organization (SEAMEO) Special Education Needs (SEN) serta Universitas Negeri Surabaya (Unesa).

Ananto menyatakan, tidak memungkiri bahwa kesadaran kolektif mengenai pentingnya pendidikan khusus masih rendah di kalangan masyarakat. Peranan pemerintah daerah sebagai pengelola pendidikan khusus yang dirasa masih perlu ditingkatkan.

“Rasanya tidak banyak pemerintah daerah yang mewajibkan sekolah memiliki fasilitas sarana prasarana untuk (melayani) anak berkebutuhan khusus,” ujarnya.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, pendidikan termasuk ke dalam Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar.

Disebutkan bahwa urusan pendidikan anak usia dini dan nonformal serta pendidikan dasar (SD dan SMP) menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Kemudian, urusan pendidikan menengah (SMA dan SMK) dan pendidikan khusus menjadi kewenangan pemerintah provinsi.

Baca Juga :  Carut Marut Persoalan Guru PPPK Dinilai Rugikan Guru dan Sekolah, Termasuk SLB

Tak hanya di Indonesia, kesadaran pentingnya pendidikan khusus juga ditemukan oleh negara-negara ASEAN lainnya. Pemerintah Malaysia mengungkapkan masih cukup banyak orang tua dengan anak berkebutuhan khusus merasa malu dan enggan memberikan pendidikan bagi anak-anak mereka.

Menghadapi hal tersebut, Kementerian Pendidikan Malaysia menerapkan “Zero Reject Policy” yang memastikan tidak ada anak berkebutuhan khusus ditolak bersekolah.

“Dengan adanya zero reject policy ini mendesak kita untuk mempercepat penyediaan sekolahnya, gurunya. Dan dasar ini menyadarkan ibu dan bapak mulai sadar, bahwa mereka perlu menghantar anak-anak mereka yang berkebutuhan khusus untuk bersekolah,” kata Ketua Pengarah Pelajaran Kementerian Pendidikan Malaysia, Datuk Amin bin Senin.

Satu Juta yang Tidak Bersekolah

Rektor Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Jawa Timur, Nurhasan menyatakan, di Indonesia, masih ada lebih dari satu juta anak berkebutuhan khusus yang tidak mengenyam pendidikan di sekolah.

“Hal ini semakin mengukuhkan peran penting banyak pihak untuk membantu anak berkebutuhan khusus mengembangkan potensinya tanpa dibatasi oleh kekhususan yang dimiliki anak,” tuturnya.

Dinyatakan, kekhususan yang dimiliki anak-anak berkebutuhan khusus hendaknya tidak membatasi kesempatan mereka di masa depan.

Ia berharap agar konferensi dapat menghadirkan rekomendasi bagi pembuat kebijakan, khususnya menyongsong revolusi industri 4.0.

Menurutnya, dalam era industri 4.0 para penyelenggara pendidikan inklusi dituntut berbenah diri. Inovasi-inovasi pembelajaran bagi peserta didik inklusi kini harus lebih banyak memanfaatkan teknologi informasi yang ada.

“Pemberi layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dan anak dengan kecerdasan istimewa diharapkan tidak gagap teknologi dan harus bisa mengikuti tren. Pendidikan inklusif yang selaras dengan era digitalisasi diharapkan mampu membekali peserta didik mampu berinteraksi dengan baik di tengah masyarakat,” tandasnya.

Komitmen perguruan tinggi yang dipimpinnya ditunjukkan dengan program-program unggulan Unesa yang mencerminkan inklusi. “Unggulan Unesa itu pendidikan berkebutuhan khusus, olah raga, kemudian seni,” dijelaskan Nurhasan.

Baca Juga :  Ketika Anak Luar Biasa Diwisuda

“Sekarang ini, semua gedung di Unesa itu harus ramah untuk orang berkebutuhan khusus, baik yang baru maupun yang lama,” imbuhnya.

Selain itu, dalam rangka meningkatkan aksesibilitas, Unesa juga menyiapkan beberapa laboratorium untuk anak-anak berkebutuhan khusus. “Silakan digunakan. Dimanfaatkan sebaik-baiknya,” ujar Guru Besar di Fakultas Ilmu Olah Raga itu.

Menjadi Tanggung Jawab Bersama

Direktur SEAMEO SEN, Salmah Jopri menyatakan informasi yang tepat akan pentingnya pendidikan khusus perlu terus menerus disampaikan kepada publik.

Unit yang dipimpinnya saat ini tidak hanya memberikan pelatihan dan konsultasi berkebutuhan khusus. Tetapi juga berfungsi sebagai pusat riset dan inovasi pendidikan khusus di tingkat Asia Tenggara.

Konferensi ICSE 2019 diharapkan mendorong gerakan menyukseskan capaian negara-negara ASEAN di bidang pendidikan.

Wahyudi, Pelaksana Tugas Direktur SEAMEO Secretariat Regional menegaskan bahwa SDGs nomor 4 tidak akan terwujud bilamana pemangku kepentingan pendidikan tidak memberikan perhatian khusus/ekstra bagi pendidikan khusus.

“Konferensi ketiga ini merupakan forum bersama, untuk merumuskan (solusi) bersama, dan maju bersama,” kata Wahyudi.

Komitmen untuk membangun kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus menjadi tanggung jawab bersama, baik pemerintah, lembaga non pemerintah, maupun masyarakat.

Pemerintah Daerah Harus Berkomitmen

Direktur Pembinaan Pendidikan Khusus Kemendikbud, Sanusi berharap agar pemerintah daerah sebagai pengelola sekolah juga dapat segera mewujudkan komitmen penyediaan akses layanan pendidikan bagi siswa berkebutuhan khusus, baik melalui Sekolah Luar Biasa (SLB) maupun melalui sekolah-sekolah yang menyelenggarakan pendidikan insklusif.

Salah satu tantangan dalam pendidikan inklusif adalah aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Direktur Sanusi mengingatkan agar pembangunan unit sekolah baru harus memenuhi standar sarana prasarana bagi siswa berkebutuhan khusus.

Misalnya penyediaan ramp (bidang miring pengganti tangga bagi siswa tuna daksa) sebagai pengganti tangga. Ataupun tekstur ubin pemandu (tactile paving) bagi siswa tuna netra, dan lain sebagainya.

Baca Juga :  Tim Basket Pelajar Indonesia Berkesempatan Lawan Tim Level AAU di AS

“Saat ini kami sedang menyusun Peraturan Pemerintah tentang akomodasi yang layak di bidang pendidikan bagi penyandang disabilitas,” kata Sanusi.

Melalui kebijakan zonasi pendidikan, Kemendikbud optimistis penyediaan akses pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus lebih mudah diwujudkan.

“Intervensi pembangunan untuk penyediaan SLB, Kemendikbud menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk pembangunan,” katanya.

Sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif harus mengenal dan merespons terhadap kebutuhan yang berbeda-beda dari para siswanya. Kemudian mengakomodasi berbagai macam gaya dan kecepatan belajar siswa, dan menjamin diberikannya pendidikan yang berkualitas kepada semua siswa.

Kemendikbud juga sedang merancang berdirinya sebuah pusat studi pendidikan khusus agar masyarakat luas atau sekolah dapat memperoleh informasi yang utuh tentang pendidikan khusus.

“Dari mulai identifikasinya, bagaimana pembelajarannya, sampai kepada evaluasi terhadap siswa berkebutuhan khusus,” jelas Sanusi.

Optimalkan Peran MGMP dan KKG

Sementara itu, Direktur Pembinaan Guru Pendidikan Menengah dan Pendidikan Khusus Kemendikbud, Sri Renani Pantjastuti menyatakan upaya peningkatan pemahaman pendidikan inklusif terus ditingkatkan.

Saat ini, pelatihan bagi guru-guru non pendidikan luar biasa (PLB) dilakukan menggunakan metode Peningkatan Kompetensi Pembelajaran (PKP) yang mengoptimalkan peran Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dan Kelompok Kerja Guru (KKG).

“Khususnya untuk MGMP yang di zonanya banyak menyelenggarakan pendidikan inklusif,” ujar Renani.

“Untuk menyampaikan kesadaran pendidikan inklusif itu harus bareng, guru dan kepala sekolahnya harus sama-sama mengetahui dan memahami. Itu nanti advokasi. Kalau pelatihannya menggunakan PKP bersama MGMP,” imbuh Renani.

Seribu orang lebih berpartisipasi dalam konferensi internasional ini. Setidaknya 500 pemakalah hadir dari 20 negara, 236 guru pendidikan dasar di wilayah Surabaya dan sekitarnya, serta 90 orang anggota kelompok kerja pendidikan inklusif berpartisipasi dalam ICSE 2019. Konferensi digelar 13 – 15 Juli. (Siedoo)

Apa Tanggapan Anda ?