JAKARTA – Negara Indonesia masih belum terbebas dari buta aksara. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) serta Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan Kemendikbud, secara nasional masih ada sekitar 2,07 persen atau 3.387.035 jiwa (15-59 tahun) yang buta aksara.
Dari 34 total provinsi, masih ada 23 provinsi yang memiliki angka buta huruf di bawah angka nasional. Sedangkan 11 provinsi, angka buta hurufnya di atas angka nasional.
Berikur 11 provinsi yang dimaksud:
- Papua (28,75 persen)
- Nusa Tenggara Barat (NTB) (7,91 persen)
- Nusa Tenggara Timur (NTT) (5,15 persen)
- Sulawesi Barat (4,58 persen)
- Kalimantan Barat (4,50 peren)
- Sulawesi Selatan (4,49 persen)
- Bali (3,57 persen)
- Jawa Timur (3,47 persen)
- Kalimantan Utara (2,90 persen)
- Sulawesi Tenggara (2,74 persen)
- Jawa Tengah (2,20 persen)
Dari jumlah penduduk Indonesia yang menyentuh angka sekitar 250 juta jiwa, yang telah berhasil diberaksarakan mencapai 97,93 persen.
”Indonesia telah membuktikan keberhasilan dengan mencapai prestasi melebihi target Pendidikan untuk Semua (PUS) Dakar,” kata Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat (Dirjen PAUD dan Dikmas) Harris Iskandar sebagaimana ditulis jpnn.com.
Ditandaskan, jika dilihat dari perbedaan gender, tampak perempuan memiliki angka buta aksara lebih besar dibandingkan laki-laki. Jumlahnya 1.157.703 orang laki-laki, dan perempuan 2.258.990 orang.
“Di sini perlu peran pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat untuk bersama-sama dalam penuntasan buta aksara,” tandasnya.
Untuk mewujudkan komitmen pemerintah dan mengajak seluruh masyarakat peduli terhadap penuntasan buta aksara. Kemendikbud memperingati Hari Aksara Internasional yang telah digagas UNESCO dalam konferensi para menteri pendidikan tentang Pemberantasan Buta Huruf, di Teheran, Iran, pada 8 sampai 19 September 1965.
Kemiskinan Menjadi Penyebab Utama
Sebagaimana ditulis jawapos.com, Direktur Jenderal PAUD dan Pendidikan Masyarakat Kemendikbud Harris Iskandar mengatakan kemiskinan masih menjadi penyebab utama masalah tuna aksara di Indonesia.
Menurutnya, tingkat kemiskinan yang tinggi akan diikuti penyandang tuna aksara. Sebab, kemisikinan membuat rendah kesadaran bahwa pendidikan dan belajar sangat penting.
“Jadi itu yang menjadikan angkanya semakin tinggi,” ujarnya.
Selain faktor kemiskinan, ada juga yang membuat buta aksara tinggi, seperti lokasi yang tak terjangkau atau di pelosok, dan kurangnya motivasi belajar.
Kendati demikian, Harris mengatakan sejauh ini usaha untuk memberantas buta aksara di Indonesia yang dilakukan Kemendikbud sudah menunjukkan hasil yang positif.
Hal tersebut dapat dibuktikan berdasarkan data dari Kemedikbud, yang menunjukkan telah terjadi penurunan signifikan dalam hal penuntasan tuna aksara di Indonesia.
Seperti pada tahun 2005 persentase penduduk buta aksara di Indonesia masih mencapai 9,55 persen atau masih 14,89 juta penduduk. Namun, angka tersebut menurun di tahun 2015.
“Tahun 2015 angka turun sekitar 3,56 persen atau sekitar 5.778.486 penduduk,” katanya.
Tak Sekedar Tidak Bisa Membaca
Sementara itu, Mendikbud Muhadjir Effendy pernah mengatakan, buta aksara bukan hanya masalah Indonesia. Negara-negara maju seperti Amerika pun masih berkutat pada penanggulangan buta huruf.
“Tidak ada satu pun negara yang bisa bebas buta huruf termasuk Amerika,” kata Muhadjir.
Menurut Muhadjir, buta huruf bukan sekadar tidak bisa baca, tulis, dan menghitung. Percuma bisa baca tapi tidak paham dan mengerti apa yang dibacanya.
“Buta huruf yang mendasar adalah apakah mereka mendapatkan sesuatu dari bisa calistung. Jadi jangan sampai mengajari anak bisa baca tapi mereka tidak tahu apa yang mereka baca,” tuturnya.
Dia menyebutkan, makna belajar sudah direduksi besar-besaran. Masyarakat umum menganggap belajar hanya di sekolah dan diajari guru.
“Belajar tidak hanya di sekolah tapi juga di rumah dan lingkungan masyarakat,” ucapnya. (Siedoo)