JAKARTA – Dibanding di India, harga buku di Indonesia relatif lebih mahal. Mahalnya harga buku bisa menjadi penyebab rendahnya daya beli masyarakat terhadap buku.
Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon menyatakan, di India, harga buku sangat terjangkau. Dengan uang kurang dari Rp 50 ribu, pelajar di negeri aca-aca itu sudah bisa membeli dua eksemplar buku pelajaran. Sementara di Indonesia, harganya lebih dari Rp 50 ribu, bahkan bisa Rp 100 ribu.
Dinyatakan pria berkacamata ini, sekitar 65% pasar buku di Indonesia didominasi buku pelajaran. Dengan pangsa pasar mencapai 61 juta eksemplar per tahun. Itu terdiri dari 31 juta eksemplar buku SD, 15 juta buku SMP, 9 juta buku SMA, dan 5 juta buku perguruan tinggi.
Fadli juga menyayangkan soal hitung-hitungan insentif penulis yang dirasakan masih cukup rendah. Itu karena penulis dibebani PPh royalti 15%, selain juga dikenai PPN sebesar 10%.
Ditandaskan, penulis biasanya paling besar mendapatkan 10% dari harga buku. Untuk itu, dia ingin adanya peninjauan ulang pajak yang selama ini membebani industri buku. Termasuk memutus mata rantai monopoli impor kertas.
“Tahun lalu kita membaca ada seorang penulis best seller yang terpaksa menghentikan peredaran bukunya karena menilai pajak yang harus dibayarkannya sebagai penulis sangat mahal. Ia melakukan aksi itu sebagai bentuk protes. Untuk menggairahkan industri perbukuan, kita perlu meninjau kembali aturan perpajakan,” katanya sebagaimana ditulis detik.com.
Menurut Fadli, buku adalah pilar peradaban. Karena itu dia ingin agar kebijakan publik harus mendorong perkembangan buku dan memberikan perlindungan kepada penulis.
“Pemerintah perlu menyadari bahwa buku adalah pilar peradaban. Tak ada peradaban besar yang tidak ditopang oleh buku. Itu sebabnya kebijakan publik kita harus mendukung berkembangnya industri perbukuan dan memberikan perlindungan terhadap para penulis,” pungkasnya.
Sebagaimana pernah ditulis kompas.com, penulis terkenal Tere Liye mengeluhkan tingginya pajak yang dibebankan kepada penulis. Ia kecewa, Tere Liye kemudian memutuskan hubungan dengan penerbit, yakni Gramedia Pustaka Utama dan Republika.
Ia mempermasalahkan tingginya pajak bagi profesi penulis. Atas sikapnya tersebut, dia mengumumkan sudah memutuskan kontrak dengan dua penerbit besar di Indonesia, yakni Gramedia Pustaka Utama dan Republika.
Alasan ketidakadilan pajak dituangkanya dalam laman facebooknya, Tere Liye. Dia bilang, pemerintah selama ini tidak adil terhadap profesi penulis buku karena dikenakan pajak lebih tinggi dari profesi-profesi lainnya.
Tere Liye memberikan ilustrasi perhitungan pajak sejumlah profesi yang ada, seperti dokter, arsitek, artis, hingga pengusaha. Lantas, dia membandingkannya dengan pajak yang harus dikeluarkan oleh profesi penulis.
Dinyatakan, penghasilan penulis buku disebut royalty.
“Maka apa daya, menurut staf pajak, penghasilan itu semua dianggap super netto. Tidak boleh dikurangkan dengan rasio NPPN, pun tidak ada tarif khususnya. Jadilah pajak penulis buku: 1 milyar dikalikan layer tadi langsung. 50 juta pertama tarifnya 5 persen, 50-250 juta berikutnya tarifnya 15 persen, lantas 250-500 juta berikutnya tarifnya 25 persen. Dan 500-1 milyar berikutnya 30 persen. Maka total pajaknya adalah Rp 245 juta,” demikian secuplik curhatan Tere Liye.
Setelah memutus dengan dua penerbit itu, bukan berarti Tere Liye berhenti menulis, bukan berarti penggemar tulisannya tidak bisa membaca. Jangan khawatir, ia tetap menulis, tetapi di media sosial.