Kepala Kankemenag Kota Magelang, Drs. H. Sofia Nur, M.Pd.
Siedoo.com - Kepala Kankemenag Kota Magelang, Drs. H. Sofia Nur, M.Pd.
Opini

Meraih Kesempurnaan Beribadah di Bulan Ramadan

Siedoo, ALHAMDULILLAH kita berjumpa Ramadan lagi.

Seluruh agama Samawi (Islam, Kristen dan Yahudi) memiliki ajaran puasa, kendati dengan cara yang berbeda-beda. Tidaklah mengherankan mengingat betapa agung hikmah dan pembelajaran yang diperoleh dari puasa. Umat Islam diwajibkan puasa Ramadan sejak tanggal 10 Sya’ban tahun kedua Hijriyah, sebelumnya hanya diwajibkan berpuasa Asyura’ yakni setiap tanggal 10 Muharram.

Ramadan adalah bulan latihan untuk menempa diri. Bulan tidak makan dan tidak minum untuk perbaikan metabolisme tubuh. Bulan dimana melakukan aktivitas terbaik dengan istirahatnya tubuh untuk mengaktifkan sel-sel tubuh yang lain, yaitu potensi otak dan hati kita.

Di bulan ini pula Allah SWT melipatgandakan pahala dengan tak terhingga. Tidakkah kita bersyukur dengan adanya Ramadan? Subhanallah, Allah begitu sayang pada kita, dilimpahkannya rahmat, hidayah dan ampunan-Nya.

Puasa, shiyam atau shoum secara etimologi berarti “menahan” dari segala hal, baik untuk kebaikan atau kejelekan, sementara dalam terminologi Fikih, puasa bermakna “menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa, mulai terbitnya fajar shidiq sampai terbenamnya matahari dengan cara yang telah ditentukan”.

Bagi umat Islam bulan Ramadan adalah istimewa dan mulia dibandingkan dengan bulan lainnya. Ramadan bulan penuh rahmah, berkah dan ampunan. Pada bulan ini Al Qur’an diturunkan, pahala ibadah dilipat gandakan, Lailatul Qodar diturunkan yaitu malam yang nilai pahala ibadah pada saat itu lebih baik dari seribu bulan.

Begitu besarnya keutamaan Ramadan hingga Rasulullah bersabda : “Andaikan hamba-hamba Allah tahu keutamaan yang ada dalam bulan Ramadan, niscaya umatku menginginkan sepanjang tahun ini menjadi Ramadan saja.” (HR. Tabrani, Ibnu Huzaimah dan Ibnu Abiddunya). Dan tentunya masih banyak lagi hadis yang menerangkan keutamaan bulan Ramadan.

Baca Juga :  Benarkah Anak IPA Lebih Stres dari Anak IPS? Ini Kata Psikolog

Dari sudut pandang normatifnya, ketika kita menunaikan puasa Ramadan kita harus memnuhi rukun puasa sebagai syarat sahnya.  Kita memahami pula mengenai sunat puasa, serta hal-hal yang membatalkan puasa.

Sedangkan dari sudut pandang tasawwuf, puasa merupakan salah satu dari tiga pilar yang menegakkan Islam, selain Tauhid dan Fiqih. -Tiga pilar ini, harus diaplikasikan secara beriringan dan berimbang. Bilamana diibaratkan, mahluk hidup adalah tubuh, sedangkan tasawuf adalah ruh. Tubuh tanpa ruh adalah “mayat”, ruh tanpa tubuh admiab “hantu”.

Keduanya tidak akan bisa berguna tanpa disertai yang lainnya.

Dalam pandangan tasawwuf, orang berpuasa tidak hanya cukup hanya menahan syahwat perut dan kelaminnya. Puasa berarti  seluruh anggota tubuh harus berpuasa.

Lidahnya pantang berdusta menggunjing, mata pantang melihat hal-hal yang membangkitkan syahwat, telinga pantang mendengarkan pergunjingan orang, dan kakinya terlarang untuk melangkah ke tempat maksiat. Singkatnya, semua anggota tubuh ikut menahan diri dari segala perbuatan dosa dan hawa nafsu.

Dari perspektif ini, maka kualitas orang malakukan ibadah puasa Ramadan bisa dikatakan bertingkat. Merujuk pada Imam Al-Ghazali di dalam kitab Ihya Ulumuddin, ia membagi menjadi tiga tingkatan yakni puasa umum, puasa khusus, dan puasa paling khusus.

Puasa umum ialah bagi mereka yang hanya mampu menahan perut dan kemaluan dari memenuhi kebutuhan syahwat. Ini adalah tingkatannya orang-orang awam, karena mereka masih melakukan perbuatan kamaksiatan.

Puasa khusus adalah bagi meraka yang tidak hanya mampu menahan perut dan kemaluan saja, namun ia juga mampu menahan pendengaran, lidah, tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuh dari semua dosa. Ini adalah tingkatan puasanya para sholihin, meraka mampu meninggalkan perbuatan kemasiatan.

Sedangkan puasa paling khusus yakni bagi mereka yang juga mampu menahan hati agar tidak mendekati kehinaan dan memikirkan dunia, namun tidak memikirkan selain Allah SWT. Ini adalah tingkatan Para Nabi, Shiddiqin (orang yang selalu jujur dalam segala hal) dan Muqarribin (orang yang didekatkan kepada Allah).

Baca Juga :  Kecerdasan Motorik Anak Perlu Dikembangkan Sejak Dini, Berikut Tipsnya

Hatinya senantiasa berkonsentrasi kepada Allah, mereka tidak memberikan kesempatan sedikitpun untuk memikirkan urusan duniawi.

Setidaknya terdapat 6 hal untuk mencapai kesempurnaan berpuasa, yaitu:

1. Menundukkan penglihatan dari hal-hal yang diharamkan atau dimakruhkan juga terhadap pandangan yang dapat melalaikan diri dari Allah SWT;

2. Menjaga mulut dari perkataan kotor, dusta, menggunjing, adu domba, fitnah dan segala perkataan yang dilarang, berusaha untuk diam, menyibukkan diri dengan berdzikir kepada Allah dan membaca Al Qur’an;

3. Menjaga telinga dari mendengarkan hal-hal yang diharamkan. Sebab hal yang haram diucapkan juga haram didengarkan. Orang yang mendengarkan pergunjingan, dosanya sama dengan orang yang menggunjing;

4. Menjaga semua anggota tubuh dari segala perbuatan dosa, tangan tidak suka usil, kaki enggan melangkah ke- tempat maksiat dan perut dijaga dari barang-barang haram;

5. Tidak memperbanyak makan ketika berbuka, apakah artinya tidak makan seharian, jika pada saat berbuka “balas dendam”. Ingat, tidak ada perut yang paling dibenci Allah dibanding perut yang paling selalu penuh dengan barang halal;

6. Menjaga hati, agar selalu makan dalam keadaan mengharap (raja’) dan takut (khauf). Apakah puasanya diterima atau ditolak, demikian pula ibadah-ibadah yang lain.

Sebuah renungan kita bersama, apalah artinya berpuasa jika seharian kita tidur untuk sekedar menghindari rasa lapar dan dahaga? Apalah artinya berpuasa, jika masih mengobral dusta, menggunjing, adu domba. Mata tidak terjaga dari kebaikan penglihatannya, telinga masih nyaman mendengarkan pergunjingan?

Selain merupakan ibadah yang punya nilai pahala tinggi, dalam puasa juga terkandung hikmah dan pembelajaran hidup yang mendalam. Al Qur’an menjelaskan “Wahai orang orang yang beriman, telah diwajibkan kepada kalian semua berpuasa, sebagaimana juga telah diwajibkan kepada orang orang sebelum kalian, supaya kalian bertaqwa (QS. Al Baqarah : 183).

Baca Juga :  Membangun Karakter Siswa, Guru Dapat Lakukan 7 Hal Berikut

Hikmah dalam ibadah puasa antara lain adalah sebagai wahana belajar untuk mengendalikan untuk diri, melatih jujur dan amanah, merasakan penderitaan fakir miskin, berfikir dewasa dan jernih, menjaga kesehatan, sebagai motifator untuk kemajuan.

Dari uraian di atas dapat diambil simpulan bahwa puasa sangat bermanfaat tidak hanya secara individu saja, namun berdampak sosial sebagai wujud ajaran Islam rahmatal lil alamin. Oleh karena itu niatkan hati dengan ikhlas, dan lakukan ibadah puasa Ramadan semaksimal ungkin yang kita bisa.

Dengan demikian, kita tidak menyia-nyiakannya dan agar kita tidak termasuk umat yang sangat merugi.  Semoga Allah SWT berikan kekuatan lahir dan batin untuk mencapai kesempurnaan beribadah di bulan Ramadan tahun ini, Amin Ya Robbalalamin.

Wallahua’lam bis showab. (*)

Penulis

*) Drs. H. Sofia Nur, M.Pd.

Kepala Kankemenag Kota Magelang

Apa Tanggapan Anda ?