Siedoo, TIDAK dapat dipungkiri pada zaman sekarang ini dibutuhkan data yang siap saji seketika. Kebutuhan informasi dewasa ini harus terpenuhi dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Memanfaatkan buku elektronik dan sumber-sumber pengetahuan di internet memudahkan urusan. Tinggal control+F, ketik apa yang sedang dicari, maka akan muncul otomatis.
Namun, di situlah kekhawatiran muncul. Setelah mendapatkan yang mereka cari, hanya poin-poin itu saja yang akan dibaca. Itu pun kemudian mereka biasanya melupakannya.
Hal tersebut merupakan kekhawatiran dosen Teknik Mesin Institut Teknologi Bandung Pandji Prawisudha, atas pergeseran penggunaan buku teks cetak menjadi e-book dan sumber-sumber internet
”Ah, toh nanti mereka tinggal googling lagi,” kata Pandji sebagaimana ditulis Pikiran Rakyat.
Padahal, pemahaman butuh pengendapan dan waktu. Itulah alasan perkuliahan satu mata kuliah berlangsung sampai satu semester alias 6 bulan. Meskipun sebenarnya bisa dipadatkan hanya 2 minggu.
”Pemahaman butuh keleluasaan. Kita tidak bisa disebut paham hanya dengan hafal definisi di Wikipedia. Harus baca buku secara keseluruhan. Bukan hanya buah, tetapi juga bunga, daun, batang, hingga akarnya,” tuturnya.
Membaca bahan ajar tanpa pemahaman komprehensif pada akhirnya berujung kebingungan, terlebih saat ujian. Mahasiswa berbasis e-book biasanya bingung ketika diberikan soal yang tidak sesuai dengan pola contoh soal.
”Mereka biasanya bingung pakai rumus yang mana. Karena mereka menghafal rumus pakai buku elektronik tetapi alasan munculnya rumus, manfaat, dan penggunaan rumus tidak dipelajari,” ujarnya.
Oleh karena itu, tak heran ketika seorang mahasiswa hanya mengejar target lulus, biasanya cukup membaca sekilas lalu banyak berlatih soal.
”Itu masalah kami di kalangan dosen. Bagaimana bikin soal yang bisa menguji kemampuan mahasiswa. Ada dosen yang kreatif dengan memberikan soal beda dari buku, ada yang harus sesuai dengan materi yang telah diberikan,” katanya.
Meskipun demikian, generasi e-book dan internet relatif lebih kritis dibandingkan dengan mahasiswa dulu. Mahasiswa terbagi menjadi golongan yang belajar banyak dan yang merasa tahu banyak. Mereka yang merasa tahu banyak dan berani tak takut mengkritisi penjelasan dosen.
”Dulu mana berani dengan dosen. Yang belajar banyak biasanya tidak banyak mendebat di kelas. Semakin banyak belajar akan semakin merasa tidak tahu, jadi semakin humble,” tuturnya.
Sementara itu, fakultas noneksakta juga menghadapi persoalan dengan buku elektronik. Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Padjadjaran Idil Akbar mengatakan, terkadang ada perbedaan cara pandang antara materi di internet dan dosen.
”Jadi meskipun banyak bahan di internet tapi untuk hal-hal tertentu juga butuh interpretasi dan penjelasan dari dosen,” kata Idil.
Materi di internet, cukup baik untuk dijadikan sebatas pengayaan atau tambahan pengetahuan.
Dosen bahasa Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia Engkos Kosasih berpandangan berbeda. Keberadaan buku elektronik dan literatur di internet tidak akan menggantikan buku-buku cetak. Sejauh pengamatan dia, buku elektronik belum lengkap atau memuat semua poin-poin yang dicantumkan di silabus.
Sejauh ini pun, mayoritas mahasiswa di kelasnya masih mempertahankan buku cetak.
”Yang pernah membaca e-book 15-20 persen,” katanya.
Kebanyakan, blog yang ditampilkan dengan beragam alamat akan menampilkan informasi yang relatif sama. ”Blog sering nyuri (informasi), apalagi jika ternyata itu pendapat anak SMA,” katanya.
Di sisi lain, ke depan maraknya buku elektronik dan internet akan meningkatkan minat baca. Sekalipun yang mereka baca sekadar informasi di media sosial, hal itu lebih baik daripada tidak melakukan aktivitas apa pun. Minimal membaca sekalipun dangkal.
Yang menjadi masalah adalah penguasaan teoretis yang lemah. ”Di sinilah guru atau dosen seharusnya mengarahkan,” akunya.