Siedoo, Kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, sesuai dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003. Yaitu untuk menjadikan setiap warga negara Indonesia sebagai pribadi yang tidak hanya memiliki wawasan yang luas. Tetapi juga memiliki sikap-sikap yang berbudi luhur sebagaimana yang dicita-citakan dalam Pancasila.
Dalam pelaksanaannya, untuk mewujudkan tujuan pendidikan tersebut dilakukan dengan pendidikan karakter di sekolah. Untuk menghasilkan SDM yang unggul dan berkarakter, maka harus disiapkan melalui kurikulum yang digunakan dalam proses pendidikan di sekolah.
Pertanyaannya, benarkah Kurikulum 2013 yang digunakan saat ini sudah dapat menciptakan SDM yang unggul dan berkarakter? Apakah kebijakan Merdeka Belajar di semua tingkat pendidikan sudah efektif untuk mendukung pendidikan karakter?
Nadiem Makarim, Menteri Kebudayaan dan Pendidikan RI dalam kuliah umum tentang Merdeka Belajar 2021 ingin mengubah transformasi pendidikan di Indonesia untuk menciptakan SDM yang unggul dan berkarakter. Menurutnya pendidikan karakter mutlak diperlukan untuk membentuk mental siswa sebagai generasi penerus bangsa.
Ada tiga dosa terkait pendidikan karakter yang sering terjadi, jauh sebelum Nadiem Makarim ditunjuk menjadi Menteri Pendidikan Indonesia, yaitu perundungan (bullying), kekerasan seksual, dan intoleransi. Ketiga dosa tersebut yang menurutnya harus diperbaiki dalam penerapan pendidikan karakter.
Untuk menghapus ketiga dosa tersebut tentu kurikulum yang digunakan harus dirancang sedemikian rupa untuk setiap satuan pendidikan. Kurikulum harus benar-benar menjadi dasar dan pijakan proses pendidikan di sekolah. Sehingga nilai-nilai karakter yang diterapkan bukan sekadar sisipan. Tetapi penanaman dalam jiwa siswa.
Selama ini pendidikan karakter di sekolah sebatas sisipan. Artinya nilai-nilai karakter yang diajarkan oleh guru hanya disisipkan kepada siswa melalui proses pembelajaran di kelas. Hal ini tentu saja tidak maksimal karena hanya lewat saja di jiwa siswa.
Nilai-nilai karakter tersebut belum sampai tertanam pada diri siswa sehingga karakter siswa sebatas di atas kertas. Tetapi belum sampai pada jiwa siswa yang tercermin pada perilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Misalnya siswa memahami secara teori bahwa membuang sampah di tempat sampah, tetapi kenyataannya masih banyak siswa yang membuang sampah tidak pada tempatnya. Perilaku tersebut bukan hanya pada siswa, tetapi banyak juga guru atau orang tua yang kurang berperilaku dengan tepat.
Dalam tradisi Jawa, guru merupakan akronim dari “digugu lan ditiru” (orang yang dipercaya dan diikuti). Artinya guru bukan hanya orang yang bertanggungjawab mengajar mata pelajaran yang menjadi tugasnya. Tetapi lebih juga mendidik moral, etika, integritas, dan karakter.
Martin Luther King Jr menyatakan, “Intelegence plus character; that is the true goal of education.” Dengan kata lain, guru sebagai pendidik harus menjadi suri tauladan siswanya. Sehingga harus memberikan contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan karakter tidak bisa dilakukan secara instan, tetapi butuh proses dan waktu yang lama. Dengan demikian, kurikulum harus dirancang secara berkesinambungan mulai dari kurikulum tingkat PAUD atau TK, SD, SMP, SMA hingga PT.
Nilai-nilai karakter yang ditanamkan harus sesuai dengan tingkat perkembangan siswa. Bahkan di Jepang, kurikulum untuk TK hingga SD dirancang khusus untuk penanaman pendidikan karakter, tetapi di Indonesia kurikulum yang digunakan lebih pada pengetahuan dengan banyaknya mata pelajaran.
Selain itu, kurikulum yang digunakan juga harus sesuai dengan Asesmen Nasional yang meliputi Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, dan Survei Lingkungan.
Dengan adanya kebijakan Merdeka Belajar yang dicetuskan oleh Nadiem Makarim diharapkan dapat memberikan ruang dan waktu secara khusus untuk pelaksanaan pendidikan karakter. Sebaik apapun kurikulum yang dirancang jika tidak dapat diaplikasikan dengan baik oleh guru ataupun pendidik, maka hasilnya pun tidak akan maksimal sesuai yang diharapkan.
Kurikulum dirancang untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dan disesuaikan dengan kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan, dan peserta didik. Oleh karena itu, guru sebagai garda terdepan proses pendidikan mempunyai kewajiban untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan kurikulum apapun, karena kurikulum hanyalah seperangkat rencana dan pengaturan. (*)
*Meilan Arsanti, M. Pd.
Dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Islam Sultan Agung (Unissula), Semarang, Jawa Tengah