Siedoo, Sebrian Mirdeklis Beselly Putra, dosen Teknik Pengairan, Fakultas Teknik Universitas Brawijaya (FT UB) yang saat ini sedang menempuh pendidikan doktor di IHE Delft, memanfaatkan Hari Konservasi Ekosistem Mangrove Internasional pada 26 Juli 2020 untuk berbagi wawasan penelitiannya terkait bakau. Fokus penelitiannya saat ini adalah untuk memahami dinamika sistem mangrove-mudflat, terutama pada delta prograding dengan mengambil sampel Sungai Porong sebagai studi kasus. (prasetya.ub.ac.id, 29/7/2020)
Dia memilih Porong sebagai lokasi penelitiannya karena semburan lumpur LUSI (Lumpur Sidoarjo) merupakan letusan lumpur terbesar di dunia. Pada tanggal 29 Mei 2006, lumpur panas meletus hingga 180.000 m3/hari.Enam puluh ribu orang terpaksa mengungsi, dan 7 km2 area perumahan terendam lumpur. Hingga saat ini LUSI masih aktif mengeluarkan material lumpur, gas, air, clasts, dan minyak, meskipun pada tingkat yang lebih kecil.
Pemerintah Indonesia membangun tanggul setinggi 10m untuk menahan semburan lumpur dan mengatur pengalihannya ke Sungai Porong. Operasi pengalihan semburan lumpur ini sangat memengaruhi morfologi muara. Operasi pengalihan telah menyebabkan pengembangan delta yang cepat, dengan ekspansi sabuk bakau.
“Sudah lebih dari 12 tahun, delta telah melebar seluas 1,75 km2 dibandingkan dengan sebelum letusan yang hanya 0,05 km2,” kata Sebrian.
Sebrian menjelaskan, semburan lumpur yang terus menerus ini mempengaruhi pembentukan delta dan dinamika ekosistem mangrove. Hal ini mengundang peneliti untuk melakukan penelitian tentang tentang progradasi delta dan perluasan sabuk bakau.
Lumpur LUSI yang berlebihan sangat mungkin memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan delta di Porong. Namun, Sebrian juga berpendapat bahwa lanskap delta juga dipengaruhi oleh keberadaan bakau. Mangrove mengubah aliran dan karenanya mempengaruhi transportasi sedimen dan diikuti oleh pengembangan daerah intertidal.
“Oleh karena itu, pemahaman dinamika di Muara Porong dan dataset yang luas model ini akan terus berkembang,” jelasnya.
Sebrian berfokus pada dinamika mangrove-mudflat karena bakau membentuk penyangga antara daratan dan laut. Juga menawarkan perlindungan terhadap erosi dan mengurangi energi gelombang selama badai menerjang.
Jika terjadi perubahan iklim global, hutan bakau dapat bertindak sebagai pertahanan lingkungan. Serta memberikan penghalang perlindungan terhadap dampak gelombang dan mitigasi erosi pantai, yang juga secara aktif memberikan manfaat ekologis.
“Mangrove memiliki vegetasi yang dapat beradaptasi, mampu mengatasi beberapa gaya hidrodinamik dan dengan dinamika transpor sedimen,” lanjutnya.
Produk penelitian Sebrian akan menjadi model yang dapat menggambarkan interaksi individu. Yaitu antara pohon bakau dengan menggambarkan pertumbuhan, kematian, dan persaingan masing-masing pohon, khusus untuk spesies dan pengaturan lingkungannya.
Model ini akan berguna bagi mereka yang ingin melakukan analisis lingkungan dari suatu situs. Berguna untuk menilai desain lanskap yang dapat mempertahankan manusia dan alam secara harmonis, berdampingan, mengukur peran vegetasi pada morfologi pantai.
“Serta setiap analisis yang terkait dengan interaksi antara vegetasi dan pembangunan pesisir,” ujar Sebrian.
Sementara metodologi yang dikembangkan juga dapat digunakan untuk memantau hutan bakau dan lumpur. Yaitu dengan menggunakan citra satelit dan drone yang tersedia secara bebas.
Hari Konservasi Ekosistem Mangrove Internasional sendiri dirayakan setiap tahun pada tanggal 26 Juli. Dengan dirayakannya hari ini, UNESCO ingin meningkatkan kesadaran akan pentingnya ekosistem mangrove sebagai “ekosistem yang unik, istimewa, dan rentan”. Serta untuk mempromosikan solusi untuk pengelolaan, konservasi, dan penggunaannya yang berkelanjutan. (*)