Siedoo, Mengingat tiga dekade yang lalu para pelajar masih akrab dengan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Mata pelajaran (mapel) ini sangat efektif dalam menanamkan jiwa Pancasila kepada peserta didik. Sehingga mereka lebih memahami Pancasila dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, di mana pun.
Kemudian beberapa waktu kemudian, PMP diperkuat dengan mata pelajaran baru yaitu Pendidikan Sejarah dan Perjuangan Bangsa (PSPB). Mapel PSPB mendidik siswa mempelajari dan memahami sejarah bangsa Indonesia, sehingga tumbuh jiwa patriot dalam diri mereka.
Saat itu para pelajar sangat terdidik jiwanya menjadi Pancasilais dan patriotis. Kala itu sangat jarang terjadi tindak kenakalan pelajar yang melebihi batas, sangat jarang tawuran dan tindak criminal oleh pelajar.
Perubahan Nama Mata Pelajaran
Namun seiring berjalannya waktu hingga pada awal munculnya orde Reformasi, kedua mapel semakin memudar. Awalnya perubahan nama mapel, PMP diubah menjadi PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan). Pada PPKn, nama Pancasila masih disertakan. Dalam mapel ini pendidikan Pancasila masih intens diberikan sesuai kurikulum dan buku-buku pelajarannya.
Saat itu siswa masih memahami tentang butir-butir dari sila-sila pada Pancasila. Sopan santun terhadap guru, orangtua, teman dan orang lain masih terjaga. Persatuan dan kesatuan pun masih kental.
Memudar Seiring Hilangnya Pencantuman pada Mapel
Waktu berjalan dan perubahan nama mapel PPKn menjadi PKn (Pendidikan Kewarganegaraan). Di mana dalam nama mapel Pancasila sudah tidak disebut lagi. Bahkan hingga KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) tahun 2006, bukan hanya perubahan nama mapelnya, namun sampai pada praktik belajar pun pendidikan seolah ‘diabaikan’.
Setiap sekolah berpacu pada pencapaian nilai akademis, kurang memperhatikan pada pendidikan nilai dan sikap.
Muncul Pendidikan Karakter
Di tengah perjalanan KTSP 2006 pemerintah mendeteksi adanya kemunduran nilai dan sikap generasi muda termasuk pelajar. Sehingga dicanangkan pendidikan karakter dalam melaksanakan kurikulun 2006 tersebut.
Segala tetek bengek untuk melancarkan pendidikan karakter dilakukan dari tingkat pusat hingga daerah. Mulai dari sosialisasi, penataran, bombingan teknis dan sebagainya marak dilakukan. Kegiatan semacam itu banyak melibatkan praktisi pendidikan, sehingga mau tidak mau para guru pun mengikutinya.
Pendidikan Pancasila Terintegrasi dalam Semua Pelajaran
Tidak adanya pendidikan Pancasila pada semua jenjang pendidikan, banyak diartikan sebagai ‘tidak ada pelajaran Pancasila’. Hal itu merupakan anggapan keliru. Menurut hemat penulis, hilangnya atau dihapusnya kata ‘Pendidikan Pancasila’ pada mata pelajaran sekolah bukan berarti pendidikan Pancasila tidak diajarkan.
Namun maksud dari pemerintah dalam hal ini melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) adalah bahwa pendidikan Pancasila dimaksudkan terintegrasi ke dalam semua mata pelajaran bersamaan dengan pendidikan karakter.
Namun sayangnya hal itu tidak disikapi secara bijak dan komprehensif. Setiap lebaga pendidikan hanya mengejar nilai akademis yang tinggi, tanpa dibarengi dengan pendidikan nilai dan sikap. Sehingga sangat minim para pelajar yang memiliki jiwa Pancasila. Hasilnya, maraknya tawuran antarpelajar dan meningkatnya tindak kriminal oleh generasi muda, serta kemerosotan moral dan karakter generasi muda.
Kembali kepada Kurikulum Indonesia
Untuk mengantisipasi semakin hilangnya karakter generasi muda senagai bangsa Indonesia, perlu kebijakan pemerintah yang mengutamakan perbaikan pendidikan. Hal itu bisa dimulai dengan perbaikan kurikulum.
Sudah terbukti bahwa kurikulum ‘adopsi’ kurang pas untuk karakter bangsa Indonesia. Maka sebaiknya kembali kepada Kurikulum Indonesia seperti yang dipelopori Ki Hadjar Dewantara. Di mana kurikulum asli Indonesia tersebut sarat dengan pendidikan karakter. Kurikulum yang menjadikan anak Indonesia berkarakter, berjiwa Pancasila. Apakah pendapat ini akan diperhatikan? Kita tunggu perkembangan pendidikan Indonesia selanjutnya. Pembaca pun bisa berkomentar tentang pendidikan Pancasila di Indonesia dewasa ini. (*)
Narwan, S.Pd
Guru SD Jogomulyo, Kecamatan Tempuran
Kabupaten Magelang, Jawa Tengah