SURABAYA – Mahasiswa Institut Teknologi Surabaya, Jawa Timur berinisiatif membuat mesin pelorod batik, yang diberi nama Pakis (Pelorod Batik Semi Otomatis). Karya ini untuk membantu tumbuhkembangnya produksi batik tulis pada Usaha Kecil Menengah (UKM) di kawasan eks lokalisasi Dolly, Surabaya. Produktifitas UKM batik di Dolly dinilai masih tergolong rendah.
Maka dari itu, untuk lebih membantu mempercepat produksi batik tulis pada Usaha Kecil Menengah, mahasiswa Departemen Teknik Mesin Industri ITS Surabaya bekerjasama dengan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Jatim menciptakan sebuah mesin pelorod batik tersebut. Melalui Program Kreativitas Mahasiswa bidang Teknologi (PKM-T), tim terdiri dari Sandi Putra Rachmadi, Laraz Bidari, Duviky Erison dan Hilda Dwi Anggraini.
Mesin pelorod semi otomatis ini juga dilengkapi dengan water heater. Komponen utama mesin pelorod malam kain batik ini adalah motor listrik, gearbox, belt dan pulley, palang penumpu, dan bak penampung air panas.
Prinsip kerja mesin tersebut dengan merebus kain batik ke dalam kuali dan memutar dengan putaran searah dan berlawanan arah jarum jam menggunakan motor listrik. Seperti prinsip kerja pada mesin cuci. Kemudian kain dapat diangkat dengan menggunakan tuas untuk mengetahui hasil dari pelorodan.
Selain itu, mesin ini juga sudah dilengkapi timer yang nantinya mesin dapat mati sendiri ketika proses pelorodan sudah selesai.
“Hal ini dapat meningkatkan K3 (kesehatan dan keselamatan kerja, red) bagi para pekerja saat proses produksi. Dan kami harapkan hal ini dapat meningkatkan hasil produksi UKM tersebut,” kata Sandi, Ketua Tim.
Upaya menciptakan mesin tersebut didasari atas hasil produksi batik tulis UKM Jarak Arum yang diketuai Fitria Anggraeni Lestari, masih cukup rendah. Produktivitas batik tulis yang dihasilkan UKM tersebut masih 20 kain per bulan dengan penghasilan sebulan Rp 5 juta.
“Terlihat bahwa dalam jangka waktu tiga tahun dengan hasil segitu, produktivitas batik tulis di UKM tersebut terhitung masih rendah,” ujar Sandi.
Hasil produksi yang masih rendah tersebut disebabkan oleh proses pembuatan batik yang sebagian besar masih menggunakan cara tradisional. Khususnya pada proses pelunturan malam kain atau yang biasa disebut proses pelorodan.
Cara tradisional yang dipakai dalam proses pelorodan malam pada UKM ini yakni dengan merebus kain satu per satu yang telah dipola dan dikunci dengan malam ke dalam air mendidih yang telah diberi soda abu di dalam kuali. Kemudian diaduk dan diangkat menggunakan kayu beberapa saat. Lalu dicelupkan kembali ke dalam kuali.
Selanjutnya menuju proses pengangkatan dan pencelupan kain dilakukan berulang-ulang sampai malam luntur. Lalu diangkat kembali menggunakan kayu. Setelah diangkat, kain tersebut diperiksa apabila masih ada malam yang menempel.
Bila masih ada, maka dilakukan proses pengerikan malam menggunakan pisau tumpul. Menurut Sandi, hal itu sangat tidak efisien ditinjau dari segi waktu pada proses pelorodan yang membutuhkan waktu tujuh menit setiap kainnya.
“Di samping itu, sisi keselamatan pekerja dari bahaya percikan air panas saat proses pelorodan malam juga perlu dipertimbangkan,” jelas mahasiswa angkatan 2015 tersebut.
Oleh karena itu, Sandi bersama tim berinisiatif membuat Pakis yang dapat mempermudah proses pelorodan malam pada pembuatan kain batik tulis tersebut. Mesin ini dapat memproses maksimal empat kain batik sekaligus dalam sekali kerja.
“Ini akan lebih efisien dibandingkan dengan menggunakan cara tradisional,” ungkapnya.
Mesin yang diproduksi dengan menelan biaya sebesar Rp 8 juta tersebut, kini sudah dihibahkan dan digunakan oleh UKM Jarak Arum di kawasan eks lokalisasi Dolly untuk produksi kain batik tulis mereka. Sandi dan rekan-rekannya berharap dengan terobosan yang mereka lakukan ini dapat membantu UKM tersebut.
“Sehingga hasil penjualan batik tulis mereka kian meningkat untuk ke depannya,” tandasnya.