Siedoo.com -
Opini

Hari Pendidikan, Sistem Pendidikan Indonesia Belum Memanusiakan Manusia

Siedoo, Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan strategis dalam pembangunan nasional. Itu karena pendidikan merupakan salah satu penentu kemajuan bagi suatu Negara. Pendidikan juga merupakan sarana paling efektif untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat. Serta, sarana untuk mengantarkan Indonesia dalam mencapai kemakmuran.

Merujuk Pasal 1 UU RI Nomor 20 th. 2003 ayat 1, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran. Agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara.

Berdasarkan pengertian pendidikan tersebut, dapat diartikan bahwa dalam suatu proses pembelajaran, peserta didik harus berperan aktif dalam mengembangkan potensi dirinya. Peserta didik harus dapat mengidentifikasi masalah. Aktif mencari informasi untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Serta, dapat menganalisis solusi terbaik untuk memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara.

Selanjutnya, pada ayat kedua dijelaskan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.

Pada ayat ketiga diterangkan bahwa, sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

Artinya, keseluruhan komponen pendidikan yang dijadikan standar pelaksanaan dan pengembangan sistem pendidikan seperti standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan saling terkait secara terpadu.

Keterkaitan antar komponen ini, berfungsi untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Yaitu, untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak. Serta, peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Baca Juga :  Meski 20 Persen APBN, Belum Cukup Biayai Pendidikan di Indonesia

Untuk mengukur tingkat keberhasilan pembangunan pendidikan di Indonesia diperlukan beberapa indikator. Diantaranya sebagai berikut:

1) indikator input, yaitu yang berhubungan dengan siswa, sarana-prasarana pendidikan, dll;
2) indikator proses yang memungkinkan untuk menganalisis aspek-aspek yang berkaitan dengan pelaksanaan kurikulum atau proses belajar-mengajar;
3) indikator output yang antara lain, membicarakan tentang berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan studi pada suatu jenjang pendidikan, angka mengulang, angka putus sekolah, rasio masukan dan keluaran; dan
4) indikator outcome yang berhubungan dengan efek jangka panjang dari pendidikan.

Sistem pendidikan di Indonesia jika dilihat dari segi proses khususnya kurikulum. Saat ini Indonesia menerapkan kurikulum 2013 yang telah direvisi pada tahun 2016. Kurikulum 2013 ini sudah jauh berbeda dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

Sistem pembelajaran dengan kurikulum yang lama, masih menggunakan sudut pandang pengajaran. Dimana guru sangat berperan aktif sebagai instruktur dalam proses KBM di kelas, yaitu untuk memberikan pengajaran pada siswa. Namun, pada K13 sudah menggunakan sudut pandang pembelajaran dalam pelaksanaan KBM di kelas.

Lebih mengutamakan aspek belajar dari siswa, bukan dari guru. Guru berperan sebagai fasilitator antara siswa dengan berbagai sumber belajar dan memberikan konfirmasi-konfirmasi terhadap hasil pemikiran siswa untuk menyamakan persepsi terhadap suatu hal yang dipelajari. Lebih mudahnya pada kurikulum lama, siswa menjadi objek yang diberi pengajaran. Namun di K13, siswa sebagai subjek yang aktif melaksanakan berbagai kegiatan belajar untuk mempelajari sesuatu hal.

Pada pembelajaran konvensional atau kurikulum sebelumnya, guru seringkali hanya menggunakan satu media pembelajaran. Atau bahkan tidak sedikit yang sama sekali tidak menggunakan media belajar untuk mempermudah proses pembelajaran. Sedangkan pada K13, guru dituntut untuk menggunakan media yang beragam untuk mempermudah siswa dalam belajar.

Baca Juga :  Anggota DPR Sarankan Guru Mengganti Metode Mengajar

Salah satu perbedaan yang lain adalah pada kurikulum sebelumnya buku-buku teks pelajaran banyak memuat materi-materi hafalan. Dan siswa memang dituntut untuk menghafal. Bahkan tidak jarang harus sama persis dengan yang ada di buku.

Sedangkan dalam K13, siswa dituntut untuk melakukan pembelajaran kontekstual. Artinya siswa harus dapat menghubungkan ilmu pengetahuan tertulis dengan kehidupan nyata. Sehingga, siswa dilatih untuk sadar terhadap berbagai masalah dan fenomena di sekitar mereka, terbiasa menganalisis fenomena tersebut, dan terlatih untuk memecahkan maslah-masalah praktis disekitar.

Sehingga, ilmu yang mereka pelajari bisa langsung diterapkan di kehidupan nyata. Tidak sekedar menghafal konsep saja.

Namun sebenarnya Kurikulum 2013 sendiri masih memiliki kelemahan. Diantaranya adalah beban belajar siswa yang terlalu banyak. Dengan mata pelajaran yang sangat banyak (pendidikan formal), dan diperparah dengan adanya fullday school, seringkali menyebabkan kurang maksimalnya kegiatan pembelajaran di kelas.

Siswa merasa sangat jenuh, dan terforsir tenaga dan pikirannya. Ditambah lagi tugas-tugas yang harus dikerjakan diluar jam pelajaran. Siswa kehilangan waktu untuk dirinya sendiri, sekedar untuk menikmati waktu dan mengobrol bersama keluarga, mengembangkan hobi, dan lain sebagainya.

Padahal, setiap siswa memiliki bakat yang berbeda-beda. Tidak semua siswa unggul dalam bidang akademik. Ada yang unggul dalam bidang musik, tari, olahraga, dan lain sebagainya. Tentu saja siswa yang memiliki bakat selain akademik akan merasa sangat tertekan dengan Kriteria Ketuntasan Minimal tiap mata pelajaran yang sangat tinggi.

Sejauh ini pemerintah masih banyak terfokus pada pengembangan kuantitas pendidikan, belum pada kualitasnya. Hal ini dapat dilihat dari data laporan statistik pendidikan yang diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan setiap tahunnya.

Di dalam laporan tersebut, hanya terdapat angka-angka atau kuantitas dari pendidikan di Indonesia. Seperti jumlah siswa, sekolah, jumlah tenaga pendidik dan lain sebagainya. Sedangkan untuk kualitasnya sendiri belum banyak dilaporkan.

Baca Juga :  Pentingnya Pendidikan Kemerdekaan saat Pandemi

Padahal seperti yang kita tahu, dengan kuantitas yang tinggi namun tidak dibarengi dengan kualitas yang tinggi pula, hanya akan menyebabkan masalah dimasa mendatang. Output dari pendidikan hanya berupa ijazah dengan nilai yang mencapai KKM. Namun, ilmu yang didapat lulusan-lulusan tersebut tidaklah banyak.

Mereka yang pandai seringkali hanya berhenti pada konsep, belum mampu merealisasikan ilmu yang didapat. Apalagi, yang nilainya bukan nilai murni atau hanya hasil katrol saja. Maka, orang tersebut tidak akan memiliki kemampuan yang mumpuni pada bidang yang telah dipilihnya.

Sehigga, output dari sistem pendidikan Indonesia saat ini belum dapat diserap secara optimal oleh lapangan kerja. Karena lapangan kerja membutuhkan tenaga kerja yang berkualitas.

Keika output dari pendidikan itu benar-benar berkualitas, selain mampu diserap lapangan kerja dengan optimal, juga dapat menciptakan lapangan-lapangan kerja baru.

Salah satu solusi untuk memperbaiki sistem pendidikan ini, dengan lebih memanusiakan manusia, dalam hal ini adalah siswa. Karena setiap siswa memiliki kemampuan dan bakat yang berbeda. Tidak seharusnya seluruh siswa dipukul rata harus mengusai semua bidang akademik.

Sebaiknya sejak usia dini, orang tua sebagai lembaga pendidikan pertama bagi anak, bertugas memahami minat dan bakat dari anaknya.

Selanjutnya saat memasuki sekolah formal, seharusnya sistem pembagian mata pelajaran yang diberikan pada siswa jangan terlalu banyak. Hanya beberapa mata pelajaran yang penting dan sangat mendasar saja yang diberikan untuk memberikan gambaran pada siswa tentang berbagai ilmu pengetahuan.

Selanjutnya pada pendidikan menengah, biarkan siswa menemukan jati diri, bakat, dan minatnya masing-masing. Untuk kemudian dapat mereka kembangkan semaksimal mungkin pada tingkat pendidikan tinggi. Dengan sistem pendidikan seperti ini, dimasa mendatang Indonesia akan memiliki tenaga kerja yang berkompetensi dalam berbagai bidang.

*Erna Setyawati
Alumni Sarjana Mendidik di Daerah Terluar, Terdepan dan Tertinggal (SM3T) dari Temanggung, Jawa Tengah.​

Apa Tanggapan Anda ?