Siedoo, MENGAJAR tidak hanya sekedap mentransferkan ilmu saja, melainkan juga sikap dan perilaku. Sehingga, bisa diteladani para siswa. Di sini seorang guru harus menjadi role of model bagi para siswa.
Demikian ditulis Yulita Hety Sujaya, Guru Sejarah di Unity School, Bekasi, sebagaimana tampil di florespost.
Dikatakan, mengajar juga berarti mendidik, mengarahkan dan menuntun para siswa berjalan pada koridor yang sesuai dengan aturan yang sudah disepakati secara bersama.
“Tentu kita pernah mendengar komentar lepas bahwa guru adalah orang tua kedua dari para siswa di sekolah. Karena ia adalah orang tua, maka rasa kasih sayang harus dimainkan oleh seorang guru di lingkungan sekolah,” kata perempuan asal Manggarai, Flores, NTT ini.
Menurut dia, guru mengajar tidak serta merta memposisikan diri sebagai tokoh yang otoriter. Menganggap diri yang paling benar dan sangat kaku. Bahkan rigid untuk menerima saran dari para siswa.
“Guru dalam tugasnya sebagai pengajar harus siap dan bersedia untuk menerima kritikan. Di sinilah letak kebijaksanaan seorang guru. Bahkan, pada titik inilah konsep guru belajar diterapkan. Seorang guru memiliki sikap lapang dada dan kemauan kuat untuk belajar dari orang lain, khususnya dari para siswa,” beber dia dalam kalimatnya.
Kesediaan untuk belajar dari orang lain (siswa), mencerminkan adanya pendidikan partisipatif dalam ruang sekolah. Artinya, seorang guru tidak hanya menjadi pengajar tetapi juga siap untuk diajar.
Terkait hal ini, bisa menilik kutipan kata-kata dari Albert Einstein yang menyatakan: Di dunia ini tidak ada orang yang bodoh dan yang pintar. Yang ada hanyalah orang yang lebih dahulu tahu dan yang kemudian tahu.
“Apa yang saya uraikan di atas merupakan sesuatu yang diidealkan untuk dilakukan oleh seorang guru. Tetapi dalam prakteknya memang sulit,” katanya.
Hal itu bisa terjadi, dikarenakan beberapa faktor:
Pertama, adanya sikap gengsi yang ditampilkan oleh seorang guru. Gengsi dalam arti tidak mau belajar dari orang lain, dalam konteks ini adalah siswa.
Kedua, ada perasaan takut yang dialami oleh para siswa untuk menyampaikan gagasan atau pendapat tatkala gurunya salah atau keliru menjelaskan sesuatu.
Perasaan takut ini juga sebenarnya tidak terlepas dari konstruksi sosial yang melekat dalam diri siswa tentang sosok guru yang sangat ditakuti. Atau pun juga perasaan takut lainnya, seperti tidak mendapatkan nilai baik jika saya memprotes guru. Ini merupakan bentuk ketakutan yang terkontaminasi dalam diri seorang siswa.
“Untuk bisa keluar dari zona atau situasi tersebut, sosok guru harus melihat anak didiknya sebagai teman. Teman dalam artian saling berbagi ilmu, menghargai pendapat dan bersedia untuk mengkritik dan dikritik. Di samping itu, seorang guru harus berani untuk memposisikan diri bukan hanya sebagai pengajar. Melainkan juga menjadi pelajar bagi para siswa,” urainya.
Dijelaskan, hubungan ideal seperti ini bertujuan untuk mengurangi gap atau kesenjangan dalam hal interaksi antara guru dan murid. Guru mengajar dan guru belajar merupakan realitas yang sangat ideal untuk dipraktekkan di sekolah.