Siedoo, DALAM menyikapi benang-benang kusut yang dihadapi para siswa di sekolah, salah satu solusi yang ditawarkan adalah mengoptimalkan peran para guru bimbingan konseling (BK). Di lain pihak, berbicara tentang peranan BK, realita sekarang ini adalah tak ubahnya seperti lingkaran setan.
Hal tersebut ditandaskan Dosen FKIP Universitas Riau Dahnilsyah Alumnus sebagaimana ditulis Riau Pos.
“Guru BK di sebagian besar sekolah di Indonesia, menjelma sebagai figur polisi sekolah yang angker dan lembaga BK beralih fungsi hanya sebagai administrasi siswa yang bertujuan mendisiplinkan, menertibkan, dan memberi hukuman bagi siswa-siswa yang dianggap bertindak subversif dan tidak mematuhi peraturan-tata tertib sekolah,” katanya.
Yang lebih miris lagi, di beberapa sekolah, peran guru BK tidak berbeda jauh dengan satpam sekolah. Harus hadir di awal waktu dan berdiri di depan gerbang sekolah untuk mengontrol dan mendata para siswa yang dianggap terlambat masuk sekolah.
“Walhasil, guru BK menyalahkan pihak sekolah yang tidak memberikan mereka tugas sesuai dengan latar belakang ilmu mereka. Sementara pihak sekolah pun menyalahkan para guru BK, yang tidak memiliki jiwa inovatif untuk memberdayakan ilmu yang mereka miliki,” tambahnya.
Dijelaskan secara umum, ada beberapa paradigma BK konvensional yang masih sering diterapkan di sebagian besar sekolah di Indonesia. Diantaranya pelayanan BK belum menyentuh keseluruhan domain atau ranah perkembangan pribadi, sosial dan akademik anak. Yang terjadi di lapangan adalah seringkali domain penyuluhan karir masa depan lebih menonjol dari pada aspek yang lain.
“BK belum ditopang oleh kepemimpinan sekolah yang solid dan padu, aspek manajerial kerja sama tim yang berkesinambungan, dan iklim kerjasama yang positif,” tandasnya.
Dikatakan, BK identik dengan masalah pemberlakukan tindakan disiplin dan cenderung hanya menangani anak-anak yang bermasalah. Hal ini sangat kontras sekali dengan peranan BK di negara-negara luar.
“Contohnya di Inggris, layanan bimbingan konseling, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga universitas dilakukan secara profesional dan komprehensif. Pusat layanan bimbingan konseling adalah salah satu tempat favorit bagi para siswa untuk melakukan curhat, menumpahkan segala perasaan, mulai dari masalah akademik, hingga masalah pribadi dan keluarga,” bebernya.
Di samping layanan pada jam kerja, siswa bahkan dapat juga menghubungi pihak bimbingan konseling lewat telepon seluler dalam waktu 24 jam. Hasil dari pelayanan secara profesional ini, mampu meredam dan mengurangi terjadinya kejadian-kejadian tragis.
“Sebenarnya, tujuan luhur sejati dari layanan BK di sekolah adalah memfasilitasi siswa dalam mencapai kematangan kepribadian, keterampilan sosial, kemampuan akademik, yang bermuara pada terbentuknya kematangan karir individual yang diharapkan dapat bermanfaat di masa yang akan datang,” bebernya.
Dibeberkan, pendidikan dan bimbingan semestinya mampu menciptakan proses pendewasaan dan pemanusiaan. Tradisi dialog serta unsur role model atau keteladanan pihak sekolah sangat penting dipraktikkan.
“Pelayanan BK seharusnya berbasis kepada kepribadian dan kepekaan sosial yang efektif, yang bermuara pada terciptanya kemampuan belajar anak yang semakin baik, berakhlak mulia, dan memiliki kematangan dalam keputusan berkarir,” tegasnya.
BK, semestinya ditopanga danya atmosfir kepemimpinan yang solid dan padu, yang diikuti oleh manajemen dan evaluasi yang berkesinambungan dan iklim kerja sama.
“BK harus berpijak kepada filosofi education for all. Tanpa adanya pilih kasih atau tindakan diskriminatif,” lanjutnya.
Karenanya, sangatlah merupakan keharusan agar para guru BK perlu kiranya melakukan refresh atau penyegaran kembali pemahaman serta paradigma tentang hakikat luhur dan terpuji dari tujuan bimbingan konseling. Sebagai bagian integral dari pendidikan serta kesadaran agar dapat memahami manusia dari berbagai dimensi seperti individualitas, sosialitas, moralitas, dan religiusitas.
“Upaya ini dapat dilakukan melalui serangkaian kegiatan pengembangan profesi melalui berbagai pengalaman, pendidikan dan pelatihan, diskusi sesama guru BK, dan sebagainya,” tandasnya.
Lalu, guru BK idealnya dapat bertindak sebagai role model, atau panutan, dengan memiliki karakter positif. Seperti peduli dan bersikap empati terhadap orang lain, percaya diri, berminat secara sosial terhadap orang lain tanpa pretensi, berani mengambil resiko, inventif, dan kreatif.
Selanjutnya, guru BK diharapkan menjadi pioneer atau pelopor dalam menciptakan hubungan kerjasama dan kolaborasi yang efektif dan kooperatif dengan seluruh gate keeper: siswa, guru pengampu mata pelajaran, manajer dan staf administrasi sekolah,orangtua, dan lingkungan masyarakat sekitar. Baik secara langsung maupun tidak langsung atas bimbingan dan konseling yang diselenggarakan.
“Guru BK juga diharapkan mampu menerapkan konsep dan praktik manajemen yang berkesinambungan yang meliputi perencanaan program, pengorganisasian sumber daya, implementasi program, evaluasi pelaksanaan dan hasil. Serta, mampu mendayagunakan hasil evaluasi sebagai basis data dan input untuk perencanaan, perbaikan, dan pengembangan program lebih lanjut,” tandasnya.
Terlepas dari harapan dan impian untuk memaksimalkan peranan bimbingan, satu hal yang sangat penting adalah mata rantai dalam pendidikan. Yaitu, koordinasi yang berkesinambungan antara para stake holders pendidikan: pemerintah, guru, murid, pihak manajemen sekolah, dengan orangtua, lingkungan masyarakat.
“Jika mata rantai ini tidak berjalan, atau salah satunya tidak memiliki sikap responsif dan kepedulian, pendidikan kita akan berjalan stagnan, dan jangan disalahkan jika tragedi demi tragedi akan selalu terjadi di dunia pendidikan kita,” katanya.