MAGELANG – Indonesia menjadi produsen tembakau nomor 6 terbesar dunia setelah China, India, Amerika Serikat, dan Malawi (Kemenkes, 2019). Indonesia mampu memproduksi 136 ribu ton atau 1,9% dari total produksi tembakau dunia.
Sementara di Indonesia, provinsi penghasil tembakau adalah Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Tengah dengan luas lahan sekitar 206,2 ribu hektare. Luas itu adalah 90% dari total luas lahan tembakau di Indonesia.
Demikian diungkapkan dalam acara Press Conference “Hasil Penelitian Petani Tembakau di Jawa Tengah”. Kegiatan bersama awak media ini di gelar oleh Muhammadiyah Tobacco Control Center (MTCC) di Ruang 206 Lantai 2 Fakultas Hukum kampus Universitas Muhammadiyah Magelang (UNIMMA), Sabtu (25/7/2020).
Ketua MTCC UNIMMA, Dra. Retno Rusdjijati, M.Kes mengatakan kegiatan tersebut digelar untuk memaparkan hasil penelitian yang dilakukan oleh MTCC pada tahun 2019. Sebuah penelitian yang merupakan sebuah studi fenomenologi dari pengalaman petani tembakau Jawa Tengah.
Dikatakan Retno, berbagai masalah terkait petani menjadi program MTCC UNIMMA, salah satunya dengan riset-riset terkait yang dilakukan secara periodik.
“Kolaborasi dengan media menjadi sangat vital untuk menyuarakan hasil riset, pendampingan maupun upaya lain terkait petani tersebut. Media menjadi aktor penting untuk kembali menggugah kesadaran semua pihak terkait kebijakan pengendalian tembakau,” katanya.
Dalam paparannya, Dr. Heni mengungkapkan, melihat produksi tembakau Indonesia yang sangat tinggi, seharusnya seimbang dengan kesejahteraan petani tembakau. Namun pada kenyataannya berbanding terbalik terhadap pencapaian industri tembakau. Hal itu diperparah dengan masa pandemi Covid-19 yang memengaruhi seluruh aspek kehidupan termasuk bidang pertanian. Di mana tuntutan langkah ketahanan pangan mengakibatkan penurunan lahan dan produktivitas tembakau.
Sejak tahun 2012, harga tembakau semakin tidak bisa diandalkan. Sehingga petani tembakau mulai beralih menanam komoditas pertanian yang lain, seperti kopi dan ubi jalar. Ternyata dengan diversifikasi tanaman tersebut mendorong peningkatan kesejahteraan petani. Hal itu karena petani berdaulat, petani dapat menentukan harga produksinya.
“Selain itu, petani juga mendapatkan untung lebih banyak. Sebagai contoh, keuntungan menanam tembakau yang semula berkisar 1,5 juta rupiah, dengan menanam ubi jalar mamu meraup keuntungan hingga 6,5 juta rupiah,” ungkap Dr. Heni.
Hal itu dibenarkan Istanto, Ketua Forum Petani Multikultur Indonesia. Dikatakan sejak harga tembakau mengalami penurunan akibat tata niaga yang buruk, para petani mulai melakukan diversifikasi tanaman. Petani asal Windusari Kabupaten Magelang ini kini menekuni komoditas ubi jalar, bahkan berkualitas ekspor.
“Selain hasil produksi kami jual ke beberapa kota di Jawa Tengah, ubi jalar juga kami ekspor ke Malaysia dan Singapura,” terangnya.
Sementara Yamidi petani asal Tlahap Kabupaten Temanggung mengungkapkan dari petani tembakau, dia mulai merintis menanam kopi. Hasil kopinya memiliki cita rasa khas dan berkualitas baik. Sehingga dia selalu mendorong masyarakat petani tembakau untuk juga menanam tanaman lain.
“Saya mengajak petani multikultur menanam dengan sistem tumpangsari,” katanya.
Dari paparan hasil penelitian yang dilakukan MTCC UNIMMA menunjukkan bahwa:
- ketidakberdayaan dialami oleh petani tembakau, baik karena faktor internal maupun faktor struktur sosial.
- perlu upaya strategis dan mekanisme untuk menguatkan kapasitas petani multikultur.
- skema kebijakan terkait infrastruktur ekonomi pedesaan harus menjadi prioritas pemulihan ekonomi, dan
- penguatan modal, kelembagaan, jejaring antarpetani tersebut menjadi perhatian utama pemerintah. (Siedoo)