Siedoo, Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada awal Juni 2020 akan mulai dibuka secara online. Seperti biasa, kemungkinan tahun ajaran baru pun akan berjalan sekitar pertengahan Juli 2020. Menghadapi situasi pandemi Covid-19 saat ini, apakah ada penyesuaian kebijakan? Mengingat, masih belum bisa diprediksi kapan pandemi berakhir.
Lalu, seberapa besar pengaruh zonasi terhadap sistem penerimaan siswa didik baru di era new normal ini? Bagaimana dengan masyarakat yang terkena dampak sosial ekonomi dan miskin baru, bisa tidak diakomodasi pada jalur afirmasi? Bagaimana pula dengan orang tua yang tak mampu dan tak memiliki gadget canggih? Karena, untuk mengakses semua informasi harus melalui gadget.
Kalau melihat dari sistem zonasi memang sangat positif. Satu kelurahan satu SMP negeri, bahkan ada yang satu kelurahan dua SMP negeri. Meskipun sekarang tidak ada lagi sekolah unggulan yang bisa dibanggakan oleh kita semua. Apakah ini artinya sekolah harus ada di setiap kelurahan? Dengan segala konsekuensinya, anak didik tertampung semuanya dengan biaya gratis?
Kondisi sekarang di tengah pandemi Covid-19 bisa menghadirkan pembicaraan lain, kemungkinan terbukanya wawasan baru, solusi tercepat serta mindset tentang penyelenggaraan pendidikan yang efektif dan efisien.
Beranalogi dari Universitas Terbuka, begitupun pemerintah, bisa membuka pola lama, sekolah terbuka bisa dibangun kembali. Pola pikir (mindset bahwa belajar tidak harus selalu di dalam kelas), ruang kelas semakin mendekat, dan sekolah induk hanya sesekali difungsikan.
New Normal dalam pendidikan bukan hanya melaksanakan protokol kesehatan, bisa saja Belajar di Rumah akan tetap berlanjut. Sehingga, domisili secara zonasi ke sekolah tidak menjadi alasan karena yang terpenting jangan berjarak dengan gadget. Bukankah ke depan kita akan terbiasa dengan pembelajaran jarak jauh (PJJ), dengan gadget sebagai modal utama?
Hal ini tentu akan berimbas terhadap 8 Standar Nasional Pendidikan. Yakni standar isi, proses, lulusan, penilaian, pengelolaan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, dan pembiayaan.
Pihak sekolah pun harus menyiapkan protokol kesehatan dalam menghadapi kenormalan baru. Fasilitas sekolah, sistem pembelajaran, tempat duduk, sistem pembagian shift KBM, dan formasi yang tepat harus dipersiapkan. Bagaimana pula dengan GTK-nya? Semua bersinergi, harus sama-sama dalam pelayanan yang prima. Pendidikan harus tetap bermutu.
Mungkinkah akan ada penyederhanaan kurikulum? Secara bertahap, mungkin ada mata pelajaran yang pelaksanaannya bisa secara daring total dan ada sebagian yang semidaring. Mata pelajaran dikelola lebih simpel, diklasifikasi berdasarkan rumpun mata pelajaran. Sehingga, tidak terlalu padat dan melelahkan serta lebih efektif dan fleksibel pelaksanaannya. Namun, semua guru harus sepaham, bukan berarti ada mata pelajaran yang istimewa. Karena, di era New Normal, hal ini harus menjadi pemikiran tanpa mengesampingkan tatanan yang ada.
Melihat kondisi ke depan, skala prioritas new normal berdasarkan analisis kebutuhan yakni mengutamakan membangun kekurangan. Siapa yang akan dilayani, penggunaan dana anggaran untuk sesuatu yang efektif demi masa depan. Cara pandang secara global yang lebih cemerlang, pembelajaran abad 21 yang lebih terukur dengan membangun kultur baru. Serta hak anak mendapat pendidikan dan tidak mengabaikan kesehatan.
New Normal warisan pandemi ini membuat tatanan pendidikan turut berbenah diri. Ini tidak mudah dan tidak bisa tuntas dengan cepat. Sepertinya, komunikasi positif berbagai pihak (Dinas Pendidikan-komite sekolah-sekolah-siswa-orang tua) sejak awal masuk tahun ajaran baru harus diintensifkan.
Pengarahan dan pembekalan PJJ bagian dari tantangan untuk orang tua serta bagaimana bermitra dengan sekolah, saatnya berbagi peran. Tanggung jawab mengajar dan mendidik juga ada pada orang tua. Dengan metode berbeda-beda, guru dan orang tua sebagai subjek yang akan berhadapan langsung dengan peserta didik bersinergi. Dituntut melangkah maju serta lebih bijak dan melek dalam memanfaatkan media sosial. Walau nanti pandemi telah pergi, literasi teknologi tetap menjadi nadi dalam menjalankan fungsi belajar mandiri.
Mungkin sebagian masyarakat/orang tua khawatir dan menolak masuk sekolah di masa pandemi ini. Berbanding terbalik dengan kerinduan anak akan sekolah, rindu pertemuan dengan teman sebaya, rindu bermain dan belajar bersama. Tingkat kebosanan, tidak sabar, frustrasi, dan disiplin menjadi bagian dari pengelolaan kebijakan.
Jika ada wacana guru berusia 45 tahun ke atas yang dianggap rentan terhadap tertularnya Covid-19 dirumahkan, itu lebih baik dan bijak. Dengan demikian, bisa memberi peluang untuk lebih kreatif dengan tanggung jawabnya tetap diam di rumah, work from home (WFH) optimal menjalankan tugasnya.
Marilah kita bersama, bersinergi membangun negeri. Tak ada gengsi ataupun dengki. Kita butuh energi sejati yang datang dari hati. Pandemi adalah anugerah Ilahi. Kita kembali menata diri dalam berbagai situasi. Jangan pergi, sambutlah mentari dengan senyum manis. Songsong dunia anak sebagai pewaris negeri. Antarkan ke dunianya dengan penuh prestasi. Berbudi dan tetap bertawakal diri. (*)
Dra. Eulis Saputra, M.Pd Komunitas Cinta Indonesia (KACI)