JAKARTA – Menurut Data World Bank Global, sebanyak 53 persen anak di seluruh negara berpenghasilan rendah dan mengalami tantangan krisis pembelajaran (learning poverty). Tantangan ini merupakan kondisi ketidakmampuan anak pada usia 10 tahun dalam membaca dan memahami cerita sederhana.
Direktur World Bank Global, Jaime Saavedra, mengatakan saat ini perlu penanganan terhadap krisis pembelajaran terutama kemampuan membaca sebagai inti dari pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di masa depan.
“Kemampuan membaca menjadi kemampuan mendasar yang harus dipenuhi bagi setiap sistem pendidikan di tingkat pendidikan dasar,” ujarnya.
Jaime mengatakan ketidakmampuan membaca dapat mempengaruhi pemahaman bahan ajar pada level selanjutnya.
Krisis pembelajaran ditemukan di beberapa negara yang berpenghasilan rendah, yaitu Afrika Sub Sahara sebesar 87 persen, Asia Timur Tengah sebesar 63 persen, Asia Selatan sebesar 58 persen, Amerika Latin dan Caribbean sebesar 51 persen, Asia Timur dan Pasific sebesar 21 persen, serta Eropa dan Asia Tengah sebesar 13 persen.
Sementara itu, Kepala Balitbang Kemendikbud, Totok Suprayitno mengatakan, asesmen evaluasi belajar ini menjadi penting untuk mengidentifikasi capaian kemampuan siswa, khususnya kemampuan dalam hal membaca.
Totok menjelaskan assesmen kompetensi ini digunakan untuk melengkapi Ujian Nasional (UN) sebagai platform evaluasi belajar pada level kognitif.
“UN itu evaluasi belajar pada level kognitif dasar atau basic of cognitive, sehingga kita melengkapi dengan Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia atau AKSI,” katannya.
AKSI merupakan program pemetaan capaian pendidikan untuk memantau mutu pendidikan secara nasional atau daerah yang menggambarkan pencapaian kemampuan siswa. Asesmen ini untuk membantu guru mendiagnosa kemampuan siswa pada topik-topik yang substansial, dan dapat memperkaya penilaian formatif di sekolah.
Karena itu, Totok mengatakan asesmen ini juga digunakan untuk mengukur kemampuan siswa dalam membaca bacaan sederhana sebagai dasar perkembangan siswa ke level selanjutnya.
“Dikhawatirkan kalau tidak bisa membaca simple text (bacaan sederhana) itu nanti progres berikutnya untuk belajar akan terhambat. Nah di Dikbud itu, melalui assesment kemampuan membacanya kita tes sejak kelas dua,” kata Totok.
Totok menambahkan ketika siswa teridentifikasi tidak bisa membaca di kelas dua, maka masih ada waktu selama setahun atau dua tahun hingga mencapai usia 10 tahun (setara kelas empat Sekolah Dasar) sudah memiliki kemampuan yang cukup untuk membaca.
Totok mengungkapkan saat ini masih ada ancaman krisis pembelajaran di Indonesia khususnya di daerah 3T. “Ada di daerah-daerah remote, tapi jumlah untuk Indonesia tidak separah yang digambarkan tadi, 53 persen, Indonesia tidak sebesar itu,” jelasnya. (Siedoo)