BANDUNG -Bagaimana jadinya jika pisang dikirim ke luar angkasa? Apakah pisang tersebut akan mengalami proses pematangan lebih cepat, atau justru lebih lambat. Mengingat, kondisi luar angkasa minim oksigen dan lebih banyak karbon dioksida.
Rasa penasaran tersebut, mendorong dosen di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) ITB Dr. Fenny M. Dwivany melakukan penelitian. Tujuannya untuk mengetahui pengaruh simulasi microgravity menggunakan alat clinostat 3D pada proses pematangan pisang Cavendish (musa acuminata AAA group).
Bekerja sama dengan LAPAN dan JAXA Jepang, dalam penelitiannya ia mengamati perubahan fisik, fisiologis serta analisis ekspresi gen.
“Penelitian ini awalnya untuk preliminary study space biology experiments atau untuk mempelajari efek simulasi microgravity terhadap pematangan buah,” kata Dr. Fenny.
Selain untuk mendalami pemahaman tentang pematangan dan pembusukan buah dari percobaan ini, lanjutnya, juga dapat diterapkan untuk menciptakan teknologi pascapanen yang lebih baik. Prototipe clinostat 3D ini merupakan hasil kerja sama penelitian dengan fisika ITB, dan pertama di Indonesia.
Berdasarkan studi literatur yang dilakukan sebelumnya, efek dari microgravity akan mempengaruhi proses pertukaran udara sehingga komposisi dari CO2 dan O2 tidak seimbang pada permukaan sekitar tanaman maupun buah.
“Hipotesis kita di luar angkasa memang pematangan buah lebih lambat karena kadar oksigen rendah. Selain itu pengaruh microgravity sendiri diduga memberikan efek akumulasi (penumpukan) gas di sekitar objek yang mana pada penelitian ini adalah pisang,” ujarnya.
Perubahaan komposisi ini bisa menyebabkan proses metabolisme pada tanaman berubah. Contoh yang mengalami perubahan adalah proses biosintesis (pembuatan molekul dalam sel) etilen. Etilen merupakan zat yang berperan dalam proses pematangan buah.
“Pada penelitian ini pisang ditempatkan pada empat kondisi yang berbeda yaitu di dalam wadah tertutup, wadah terbuka, clinostat tertutup dan clinostat terbuka.”
Proses dari eksperimen diawali dengan pisang Cavendish yang hijau matang, digunakan sebagai sampel setelah 24 jam mendapat perlakuan diberi etilen. Sampel pisang dibungkus dengan kertas tisu yang mengandung karbon aktif untuk menghindari cedera fisik serta untuk menyerap air dari proses respirasi.
Kemudian eksperimen dilakukan dengan menggunakan clinostat 3D selama tujuh hari. Lalu sampel dipanen pada hari ke- 0, 1, 4, 5 dan 7.
Untuk mengetahui kondisi fisik dan fisiologis dapat diamati perubahan warna kulit. Warna kulit berubah secara bertahap dari hijau menjadi kuning selama tujuh hari proses pematangan buah.
Warna kulit pada ruang tertutup pada clinostat sedikit berubah dan membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan kondisi lainnya. Selain itu juga diukur rasio massa kulit pisang pada empat kondisi untuk memastikan hal ini.
“Hasilnya, usia pematangan terpanjang diperoleh ketika pisang disimpan pada kondisi ruang tertutup pada clinostat, diikuti oleh wadah tertutup, clinostat terbuka, dan yang terakhir adalah kontrol atau wadah tertutup saja,” jelasnya.
Fenomena ini juga didukung data pola kandungan klorofil pada empat kondisi tersebut. Kandungan klorofil terendah terdapat pada clinostat wadah tertutup.
Hal ini juga terkait dengan kandungan oksigen yang terbatas di sekitar buah pada kondisi kliostat wadah tertutup. Warna kulit pisang umumnya berubah secara bertahap dari hijau menjadi kuning selama proses pematangan.
Selain itu eksperimen ini juga terdapat analisis molekuler untuk mendukung hipotesis bahwa simulasi microgravity menggunakan clinostat dengan wadah tertutup menghasilkan kondisi yang menunda proses pematangan pisang. (Siedoo)