JAKARTA – Wakil Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Hetifah Sjaifudian, mengungkapkan, DPR mendukung kebijakan zonasi agar mampu memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia. Zonasi menghilangkan sekolah favorit.
“Prinsipnya setuju, zonasi menghilangkan sekolah favorit. Karena setiap warga negara Indonesia itu wajib menerima pendidikan sebagai layanan dasar. Dan pemerintah wajib membiayainya, tapi dengan kualitas yang juga harus relatif sama,” ungkap Hetifah.
Hetifah Sjaifudian memandang pemerintah daerah, khususnya para kepala daerah sebagai kunci dalam penerapan kebijakan zonasi. Khususnya dalam pembuatan petunjuk teknis dan penetapan zona.
“Jika kita ingin sistem zonasi ini berjalan, diterima, dan berkelanjutan. Maka harus ada langkah-langkah cepat. Pertama, kita harus memastikan bahwa peraturan yang ada dilaksanakan secara tegas. Penegakkan hukumnya juga jelas,” tegas Hetifah.
Apabila terdapat penyimpangan dan penyalahgunaan, maka harus ada penindakan yang tegas dan tidak pandang bulu. Baik itu menyangkut masyarakat, pejabat, dan aparat.
“Kemendagri yang berperan memberikan sanksi kepada daerah, bukan Kemendikbud. Makanya kalau ada perpres (peraturan presiden), lebih jelas acuan hukumnya, siapa berbuat apa. Dan sebenarnya bisa dilakukan insentif dan disinsentif,” imbuh Hetifah.
Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Ahmad Su’adi, menyampaikan apresiasinya kepada Kemendikbud yang telah menerbitkan Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 pada bulan Desember 2018.
Dengan aturan itu pemerintah daerah memiliki waktu enam bulan untuk persiapan dan melakukan sosialisasi ke masyarakat. “Beberapa kepala daerah masih melakukan modifikasi sistem zonasi yang menyimpang dari tujuan utama sistem tersebut,” katanya.
Penerapan kebijakan zonasi sebagai bentuk upaya peningkatan pemerataan akses pendidikan yang berkeadilan hendaknya dapat ditindaklanjuti Pemda dengan pemerataan fasilitas dan akses.
“Yang penting sekarang ini agar masalah terkait disinformasi dan tidak adanya peta zonasi agar segera diselesaikan. Tanpa harus mengubah sistem zonasinya sendiri,” kata Ahmad Su’adi.
Ombudsman berharap agar koordinasi Kemendikbud dan Kemendagri semakin baik. Sehingga penerapan PPDB berbasis zonasi tidak lagi bermasalah.
“Ini kan program pemerintah, bukan hanya Kemendikbud. Maka benar adanya Perpres, sehingga semua bisa terlibat,” tutur Ahmad Su’adi.
Secara umum, Ombudsman memandang penerapan kebijakan sistem zonasi selama tiga tahun terakhir telah menurunkan jumlah praktik jual beli kursi/titipan serta pungutan liar di dunia pendidikan. Khususnya yang selama ini dilakukan di sekolah-sekolah yang dianggap unggulan atau favorit. (Siedoo)