Siedoo, Kemampuan berkomunikasi dan kepercayaan diri merupakan hal yang paling penting bagi seseorang untuk bersosialisasi membangun pertemanan. Selain itu, bahasa sebagai jendela dunia memegang peranan penting untuk masuknya arus informasi.
Meski demikian, kondisi para siswa di SLB-B Dharma Asih, Depok masih kurang. Ketika para mahasiswa Universitas Indonesia (UI) terjun langsung ke SLB-B Dharma Asih, menemukan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh anak-anak tuli dalam berbahasa. Kendala komunikasi menjadi penyebab utama anak-anak tuli sulit memahami bacaan, menulis, dan menyampaikan gagasan.
“Kami lihat adik-adik di sini kemampuan memahami bacaan dan menulis sederhana mereka masih kurang,” kata salah satu mahasiswa Ayyubie Cantika Yuranda, Prodi Indonesia, angkatan 2015.
Berdasarkan permasalahan tersebut keempat mahasiswa yang berasal dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya ini melakukan diskusi pemecahan masalah bersama dosen pembimbing, Mohammad Umar Muslim, Ph.D dan Silva Tenrisara Isma, M.A. Melalui diskusi dan riset sederhana, muncul ide untuk mengadakan kegiatan pengajaran bahasa Indonesia yang diberi nama Program Peningkatan Pemahaman Berkomunikasi untuk Anak Tuli (Program Taman Berani).
Setelah diskusi itu, mereka berhasil membuat metode ajar Pendidikan Dwibahasa (PeDe) sebagai wujud kepedulian terhadap pendidikan anak-anak tuli. Metode ini digagas tim PKM-M Taman Berani yang beranggotakan Ayyubie Cantika Yuranda (Prodi Indonesia, 2015), Adhi Kusumo Bharoto (Prodi Inggris, 2016), Dara Minanda (Prodi Indonesia, 2015), serta Rojali (Prodi Indonesia, 2015).
Kegiatan yang digagas Ayyubie, dan tim ini mendapat sambutan positif dari Kemristekdikti melalui pemberian dana hibah Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Menurut Ayyubie, gagasan ini muncul atas keinginan tim untuk meningkatkan kualitas diri anak tuli agar dapat bersaing dengan anak-anak dengar.
“Mereka juga masih malu atau takut untuk berkomunikasi dengan orang dengar. Harapannya, kegiatan kami dapat membantu mereka untuk mengasah kemampuan menulis dan membaca, serta meningkatkan keberaniannya,” jelas Ayyubie saat ditanyai tentang awal mula terbentuknya program ini.
Program ini berlangsung sejak akhir April hingga Juni 2019. Kegiatan yang dilakukan yaitu mengadakan kelas bahasa untuk para siswa dan kelas Focus Group Discussion untuk para guru.
Terkait metode ajar, nama ‘Dwibahasa’ diberikan sesuai dengan cara pengajaran menggunakan sistem Dwibahasa. Para siswa diajarkan bahasa Indonesia dengan pengantar bahasa isyarat dibantu dengan gambar dan video berbahasa isyarat.
Setelah para siswa paham konsep kata atau kalimat dalam isyarat, siswa diminta untuk menuliskannya. Dalam mengajar dengan metode PeDe, siswa mendapat materi sesuai dengan kebutuhannya.
“Di kelas, kami awalnya memancing dulu adik- adiknya dengan video cerita dari gambar menggunakan bahasa isyarat dan meminta mereka menulis. Setelah kami tahu sejauh mana pemahaman mereka, kami diskusikan dengan dosen pembimbing urutan materi yang harus diajarkan,” urai Dara Minanda.
Para siswa tersebut diajarkan pelan-pelan dalam sembilan kali pelaksanaan kelas. Mulai dari kata, konsep tulisannya, lalu kalimat sederhana hingga paragraf.
“Alhamdulillah, kami melihat peningkatan yang signifikan. Keberanian adik-adik juga kami asah. Dalam setiap pertemuan, kami meminta mereka untuk bercerita di depan kelas menggunakan bahasa isyarat,” jelasnya.
Dari pertemuan itu, ada yang awalnya di depan teman-temannya malu sampai menangis. Pada akhir kelas siswa akhirnya berani bercerita di depan para guru dan orang tua.
“Seneng banget rasanya,” ungkap Dara panjang lebar saat ditanyai proses pelaksanaan kegiatan.
Pelaksanaan kegiatan ini mendapat tanggapan positif dari para orang tua siswa. Orang tua merasa sebelumnya agak susah komunikasi dengan anaknya.
“Saya senang banget Rasyiq (siswa) sekarang mulai percaya diri dan mau mengungkapkan kemaunannya. Sebelumnya tuh, dia suka malas atau marah karena kami nggak ngerti apa yang dia maksud,” tutur Oktaria Hidayati, orang tua salah satu siswa.
Tapi sekarang, Rasyiq mau pelan-pelan mengarahkan orang tuanya untuk membuat mengerti apa yang dia maksud.
“Saya harap program ini ada terus dan bisa diterapkan juga buat anak SD dan SMA,” ungkap dia.
Tonton video lengkapnya di sini
Adhi, salah satu anggota tim yang tuli menjelaskan bahwa anak-anak tuli memiliki hak untuk memperoleh pendidikan dwibahasa; bahasa isyarat dan bahasa nasional. Hal tersebut berguna untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar manusia seperti kebutuhan fisik, kebutuhan emosional, kebutuhan spiritual, dan kebutuhan intelektual yang sebagian besar diungkapkan melalui bahasa.
“Di Indonesia, belum ada SLB yang mengajar dengan cara seperti ini. Saya harap, kegiatan ini dapat menginspirasi dan dicontoh oleh para guru SLB seluruh Indonesia,” tandasnya. (*)