Siedoo, Indonesia berada di jalur sabuk api (ring of fire) sehingga sangat rentan terjadi gempa bumi. Sementara semua orang menginginkan memiliki bangunan kokoh dan tahan terhadap bencana, terutama gempa bumi.
Dalam mewujudkan kebutuhan masyarakat akan bangunan kokoh berbahan bahan ringan perlu inovasi melalui penelitian dan berbagai percobaan. Harus pula memperhatikan letak geografis suatu daerah, sehingga mampu mengatasi kendala yang dihadapi masyarakat.
Ternyata permasalahan di atas melahirkan inovasi baru bagi mahasiswa Universitas Airlangga (Unair) Jawa Timur yaitu menciptakan bata ringan material. Yaitu dengan manfaatkan limbah rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii.
Inovasi tersebut dilakukan mahasiswa Unair dalam Program Kreativitas Mahasiswa bidang Penelitian Eksakta (PKM-PE). Yaitu, Muhammad Zulfikar Alfian Bahtiar (Fakultas Perikanan dan Kelautan 2015), Farid Maulana Ibrahim (Fakultas Sains dan Teknologi 2015), diketuai Andhika Alfa Musthofa (Fakultas Perikanan dan Kelautan 2015).
Andhika mengungkapkan, latar belakang dari gagasan yakni besarnya limbah yang dihasilkan olahan karaginan rumput laut ini sebanyak 65-70% dari industri pengolahan rumput laut di Indonesia. Padahal menurut Kementerian Perindustrian pada tahun 2013, produksi karaginan mencapai 12,5 juta ton dan terus meningkat tiap tahunnya.
“Artinya tiap tahun ada sekitar 25 juta ton limbah hasil pengolahan karaginan dan sampai saat ini masih belum ada pemanfaatan limbah ini secara massal,” ungkap Andhika di laman unair.ac.id.
Beberapa literatur menyebutkan bahwa terdapat kandungan selulosa pada limbah pengolahan rumput laut. Sehingga dapat membuat sebuah ikatan jika dimanfaatkan sebagai material.
“Hal itu terbukti dengan adanya penelitian yang dimanfaatkan sebagai Medium Density Fibreboard atau jenis kayu olahan yang terbuat dari serpihan kayu yang dipadatkan,” terang Andhika.
Bata ringan yang ditawarkan, lanjut Andhika, diharapkan lebih kuat jika dibandingkan dengan bata ringan biasa. Adanya kombinasi dengan limbah karaginan ini menurut hipotesis mereka bisa menambah kuat tekanan maupun kuat lentur dari bata ringan.
“Karena limbah memiliki karakter yang mirip dengan pasir dan cocok untuk material tahan gempa. Selain itu, limbah karaginan akan dapat menambah kekuatan dari ikatan yang ditimbulkan dari semen karena adanya selulosa,” tambah Andhika.
Karya mahasiswa yang dibimbing oleh dosen Annur Ahadi Abdillah, S.Pi., M.Si. ini mendapatkan respon baik dari Kemenristekdikti dan lolos pendanaan. Menurut Annur, pemanfaatan limbah rumput laut menjadi bata ringan dipilih dengan alasan wilayah Indonesia yang sangat rawan akan gempa.
Sedangkan bangunan-bangunannya mudah roboh, padahal tidak terkena retakan lempengan dari tanah. Hal itu disebabkan dari konstruksinya yang tidak kuat maupun materialnya yang rapuh.
“Material yang rapuh dan kaku seperti batu bata dapat menyebabkan retakan pada dinding hingga bangunan roboh. Penggunaan pasir pada pembuatan bata ringan nantinya akan disubstitusikan oleh limbah rumput laut Kappaphycus alvarezii,” tutur Annur. (*)