Siedoo, Setiap manusia, khususnya umat Islam merayakan hari raya Idul Fitri sebagai wujud kemenangan, kembali ke fitrah. Kegiatan saling memaafkan merupakan suatu hal yang dikatakan wajib dilaksanakan.
Hanya di Indonesia bahwa, Idul Fitri mempunyai tradisi menyajikan makanan yang beraneka ragam, bersilaturahim ke berbagai tempat, sehingga tercipta suatu efek kerekatan sosial. Hal saling maaf -memaafkan itu harus betul-betul ditanamkan oleh anak cucu kita, sebagai suatu wujud pendidikan karakter kepada anak.
Sejarah tentang hal yang berkaitan dengan Idul Fitri di Indonesia itu, dicetuskan oleh KH Abdul Wahab Hasbullah pendiri NU (Nahdlatul Ulama). Mempunyai gagasan brilian itu, setelah bulan Ramadhan diadakan Halal Bi Halal untuk berkumpul dan saling memaafkan, bertujuan untuk meredam api permusuhan yang sebelumnya terjadi.
Saat itu, bertepatan dengan terjadinya perpecahan beberapa organisasi atau elite politik yang ada di Indonesia. Sehingga dengan adanya Halal Bi Halal diharapkan untuk meredam perpecahan tersebut.
Kegiatan tersebut kemudian dijadikan tradisi oleh Ir. Soekarno dan dilestarikan hingga sekarang sebagai tradisi yang ada di Indonesia. Pertama kali dilakukan oleh NU sebagai pencetusnya yang berada di daerah kampung atau pedesaan.
Kemudian berkembang di kalangan intelektual yang ada di perkotaan karena dinilai hal tersebut bagus untuk dilakukan. Bahkan karena hal itu, para tokoh muslim di dunia memberikan apresiasi kepada orang-orang Islam yang ada di Indonesia.
Ada hadist Nabi Muhammad SAW menerangkan bahwa “Barang siapa yang suka untuk dilapangkan rizkinya dan diakhirkan usianya (dipanjangkan umurnya), hendaklah ia menyambung silaturrahim”.
Pada era saat ini terjadi suatu pergeseran nilai budaya yang mengakibatkan generasi muda jaman sekarang, kurang memahami makna saling memaafkan dan halal bi halal. Hal ini perlu ditanamkan kepada generasi muda jaman sekarang, karena saat ini mereka kurang berpikir untuk sowan ke orang yang lebih tua, sesepuh atau sowan kepada para alim ulama.
Malah sebagian generasi muda hanya mengunjungi tempat yang dinilai menarik saja. Biasanya Lebaran di hari ke dua atau ke tiga malah lebih tertarik mengunjungi tempat rekreasi.
Bahkan generasi muda melakukan pacaran di tempat tersebut. Hal ini bisa terjadi karena kurangnya penanaman nilai tradisi/budaya saling memaafkan kepada generasi muda.
Pendidikan saling memaafkan ini merupakan suatu hal yang penting kepada keluarga, orang tua, guru dan para kyai. Sehingga momentum silaturahim saat Lebaran ini tidak hanya sekejap 1 atau 2 hari, tapi durasinya lebih lama lagi.
Solusi yang bisa dilakukan adalah,
- Orang tua harus memberikan bimbingan dan petunjuk kepada anak cucunya, agar mau minta maaf kepada orang lain. Jika tidak ada bimbingan dari orang tua, maka anak tidak mempunyai petunjuk tentang bagaimana minta maaf kepada orang lain.
Kalimat yang diucapkan orang tua kepada anak seperti, “Bapak dan Ibu masih ada tamu di rumah, kamu harus pergi ke tempat yang disana untuk minta maaf. Ini transportasinya untuk pergi bersilaturahim ke tempat saudara”.
- Orang tua juga memberikan nasehat kepada anak bahwa tidak ada manusia yang tidak mempunyai kesalahan. Orang tua juga harus memberikan contoh kepada anak tentang menyadari bahwa diri kita harus sadar mempunyai kesalahan dan harus minta maaf kepada orang lain.
- Hal yang berbau rekreasi bagaimana caranya dikemas dengan hal lain, agar anak pikirannya tidak lebih terfokus bahwa saat Lebaran untuk rekreasi. Tetapi lebih ke hal menjalin eratnya kekeluargaan.
- Anjang sanak tidak hanya kepada yang masih hidup saja, namun juga bisa diajak ke makam saudara yang sudah meninggal. Hal tersebut diharapkan agar anak mengerti sejarah dari keluarganya. (*)
*Drs. KH Choirul Muna
Anggota DPR-RI 2014-2019
Pengasuh Pondok Pesantren Mamba’ul Hisan, Dusun Nglarangan, Desa Sidoagung, Tempuran, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah