Siedoo.com -
Opini

Buddha Moyangku, Islam Agamaku

Pagi itu merupakan hari yang cerah, walau cuaca agak dingin. Suatu pagi dimana para santri Pondok Pesantren Miftahurrohmah Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah bersiap diri mengikuti kegiatan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS) atau dikenal masa orientasi siswa baru. Panorama Perbukitan Menoreh yang indah di belakang para santri tinggal, begitu indah di pandang mata kala pagi itu.

Dengan berpakaian muslim, berpecis ala para santri, mereka akan mengikuti kegiatan mengkaji peninggalan sejarah Buddha. Yaitu, Candi borobudur yang letaknya kurang lebih 1 Km dari lokasi pesantren. Mungkin, rasanya janggal untuk dipikirkan, sebuah pesantren biasa yang mayoritas hanya mengkaji kajian agama Islam, tetapi belajar memahami agama lain dan bahkan benda peninggalannya. Hal itu tidak masalah, karena hanya untuk menambah wawasan bagi para santri di Pesantren Miftahurrohmah Borobudur yang di dirikan dan diasuh oleh KH Abdul Khafidz pada 2008 yang lalu.

Upaya tersebut hanya sekedar menambah wawasan dan menjadi kebutuhan di tempatnya tinggal. Ini karena letak pesantren yang berbaur di lingkungan Vihara berbagai aliran Buddha. Serta karena letak pesantren yang dikelilingi desa wisata dan perhotelan, yang hampir setiap hari banyak turis lalu lalang di sekitar pondok pesantren. Mungkin, terasa memalukan kalau anak-anak di daerah Borobudur tidak mengerti sejarah budayanya.

Semua peserta pengenalan budaya itu dari santri baru kelas VII. Kunjungan ke Candi Borobudur sebagai hiburan bagi santri baru, karena baru masuk dan masih selalu teringat orang-orang terkasihnya di rumah. Para santri harus mengerti sejarah nenek moyangnya yang mampu membangun candi walau nenek moyang mereka jaman dahulu masih beragama Hindu dan Buddha.

Karena letaknya pondok pesantren yang dekat dengan Candi Borobudur, pagi itu ada sebagian santri yang berjalan kaki sampai Candi Borobudur. Sebagian juga naik mobil bak terbuka. Mereka berkumpul di Kantor Balai Konservasi Peninggalan Budaya Borobudur.

Baca Juga :  Hari Laut Sedunia, Sejarah dan Tujuannya

“Islam harus selalu membawa rahmat bagi sesama umat. Dan jadilah santri berwawasan luas, biar Islam menjadi kuat,” ujar KH Abdul Khafidz, menasihati para santri yang berjumlah 57 orang. Mayoritas dari mereka merupakan kaum dhuafak dan yatim.

Suasana pagi itu sangat bersahabat di pesantren yang beralamat di Desa Majaksingi, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang tersebut. Muhammad Dimyati selaku Ustad, dalam perjalanan penuh semangat menceritakan kepada para santri.

”Bahwa tahun 2014 yang lalu, para santri juga mengadakan aksi membersihkan Candi Borobudur dari erupsi Gunung Kelud. Itu dalam acara anak santri Khablummminannas, cinta sesama manusia karena membersihkan Candi Borobudur dari timbunan abu Gunung Kelud,” jelas dia.

Pada saat pembersihan itu, acara diliput banyak media dari dalam dan luar negeri. Hingga akhirnya para santri mendapatkan piagam dari UNESCO dan Menteri Pariwisata dan Budaya saat itu.

Pengenalan Lingkungan untuk Siswa Baru

Adapun agenda MOS kali ini, para santri juga masih banyak agenda. Mereka juga berbincang bincang dengan pengelola hotel dan kegiatan kepramukaan. Khususnya untuk mengetahui dengan alam sekitar, Bukit Menoreh, dan masyarakat di sekitar pondok pesantren.

Iwan sebagai pemandu dari Balai Konservasi borobudur sangat telaten menceritakan relief yang ada di dinding candi. Kesempatan itu tak lupa selalu diselingi canda tawa biar para santri selalu semangat. Berkali-kali para santri diberi pertanyaan kembali, siapa pendiri Candi Borobudur, dan Candi Borobudur diketemukan oleh siapa. Pertanyaan itu selalu dijawab oleh anak-anak dengan ceria dan semangat.

Bagi anak-anak sendiri, cerita Candi Borobudur sudah tidak asing diceritakan oleh ustad seni dan budaya selama ini. Tetapi kejelasan dari Balai Konservasi dan melihat candi langsung di lapangan menambah jelas sejarah candi itu sendiri.

Baca Juga :  Membumikan Pendidikan Tanpa Mengenal Status

Nenek moyang kita boleh Beragama Buddha, karena Candi Borobudur dibangun saat agama Islam belum sampai Ke Indonesia. Anak-anak bisa membedakan kurun waktu kelahiran Nabi Muhammad SAW dan Candi Borobudur. Terutama santri memahami kecerdasan nenek moyangnya sekarang sangat bangga dengan agama Islam yang di sandangnya.

Sebagai Ustad dan Guru di Pondok Pesantren Miftahurrohmah, Dimyati berharap Candi Borobudur mampu menjadi tempat edukasi pelajar yang murah. Ini karena membangun kebanggaan sejarah dan mengerti kecerdasan nenek moyang bagi generasi, sangat penting. Tidak hanya mementingkan bisnis pariwisata semata.

Acara pengenalan lingkungan sekolah ini juga selalu ceria karena anak berbaur dengan para turis yang cukup ramai. Terkadang justru ada para turis yang berebut ingin berfoto bersama santri. Yang dinilai unik dengan peci muslim serta kental dan gaya ala santri. Acara diakhiri dengan berkumpul kembali di pelataran Kantor Balai Konservasi Borobudur dan bersalaman cium tangan khas para santri kepada pemandu. Ungkapan terimakasih ditujukan kepada Balai Konservasi Borobudur yang sudah menemani, membantu para santri mengetahui sejarah Candi Borobudur dan Agama Buddha.

*Penulis merupakan salah satu pendiri Pondok Pesantren Miftahurrohmah Ustad Muhammad Dimyati.

Apa Tanggapan Anda ?