YOGYAKARTA – Perang melawan hoaks bukanlah perang antara orang pintar dan orang bodoh. Melainkan perang antara civil society melawan industry. Ada tiga pihak yang diuntungkan oleh persebaran hoaks, yaitu media massa, penyedia media sosial, serta politisi.
“Hoaks tidak lepas dari kepentingan para politisi. Mereka butuh itu untuk konsolidasi internal, membangun musuh bersama dan satu lagi yang teman-teman mungkin tidak sadar. Yaitu untuk efisiensi pembiayaan politik,” jelas pengamat sosial dan politik Iqbal Aji Daryono.
Ia mengungkapkan itu saat sarasehan yang diselenggarakan atas kerja sama antara Research Center for Politics and Government (PolGov), Departemen Politik dan Pemerintahan, FISIPOL UGM, dengan MAFINDO. Selain untuk memperluas ruang bertemu secara sosial agar masyarakat bisa saling melakukan klarifikasi atas kabar yang beredar, acara ini juga menjadi gerakan kampanye publik untuk memberikan pemahaman akan pentingnya menyaring berita di tahun politik.
“Karena salah satu tantangan di dalam perlawanan kabar bohong terletak pada isu literasi. Peran melawan hoaks tidak bisa diselesaikan secara instan. Perlawanan ini memerlukan upaya taktis yang hasilnya baru akan dilihat beberapa tahun ke depan,” jelas Iqbal.
Menyikapi maraknya hoax ini, berbagai upaya struktural telah dilakukan oleh pemerintah maupun organisasi. Menurut Dosen FISIPOL UGM Abdul Gaffar Karim, upaya untuk menyelesaikan permasalahan ini dikembalikan kepada masing-masing individu. Bagaimana mereka berupaya mencerdaskan diri sendiri dan meningkatkan imunitas terhadap hoaks.
“Hoaks tidak menjadi sesuatu yang berbahaya selama kita tidak mengizinkan hal itu mengganggu pikiran kita,” tutur Gaffar dalam Sarasehan Kebangsaan ‘Mengelola Kabar Bohong dan Distorsi Informasi dalam Politik Elektoral”’ pada Rabu (13/3/2019) di Selasar Barat FISIPOL UGM Yogyakarta.
Pembahasan isu ini berangkat dari riset yang dilakukan oleh Research PolGov di Jawa Barat dan Maluku, yang menemukan bahwa peredaran hoaks yang mencakup jalur-jalur daring seperti media sosial dan media pesan, serta jalur relasi langsung seperti pertemuan warga, semakin mengkhawatirkan dari segi luasan dan sifatnya.
Untuk meningkatkan imunitas individu agar tidak terpengaruh hoaks, Gaffar menyebutkan bahwa salah satu hal yang dapat dilakukan adalah membatasi informasi yang diterima hanya melalui sumber-sumber yang kredibel. Selain itu, ia juga menekankan pentingnya ruang yang mempertemukan masyarakat dengan pandangan yang berbeda untuk saling berdiskusi dan mengonfirmasi isu-isu yang beredar. Ini agar tidak terjebak dalam narasi yang berat sebelah.
“Kalau kita ada di dalam grup yang anggotanya hanya pendukung Jokowi, pasti hoaks yang beredar adalah seputar Prabowo, begitu juga sebaliknya. Tapi kalau ada dari kedua kubu, kalau ada hoaks yang beredar bisa saling mengkonfirmasi, dan pemahaman kita lebih terbuka,” terangnya.
Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) Septiaji Eko Nugroho menyebutkan bahwa, pihaknya mencatat ada 997 hoaks yang beredar di sepanjang tahun 2018. Hampir separuh di antaranya berkaitan dengan isu politik, sosial, dan SARA.
Selain berpotensi merusak kerukunan bangsa, peredaran hoaks dan distorsi informasi juga membahayakan proses demokrasi di dalam pemilihan umum. Itu karena mengalihkan perhatian masyarakat dari isu-isu yang penting.
“Di media sosial orang lebih banyak berurusan dengan isu yang remeh temeh, isu yang penting justru jarang sekali muncul,” jelas Septiaji. (Siedoo)