BANDUNG – Penerapan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2018 dengan menerapkan sistem zonasi, tidak bisa membuat orang tua menyekolahkan di sekolah keinginannya sesuai dengan perolehan nilai anaknya. Nilai menggemberikan tidak menjamin bisa masuk ke sekolah yang difavoritkan di luar zonasi. Di satu sisi, nilai yang dirasa kurang bagus bisa masuk di sekolah favorit karena di dalam zona tempat tinggalnya.
Pemerintah menerapkan kebijakan tersebut tidak lain untuk pemerataan dan meminimalisir mobilisasi ke sekolah tertentu. Tetapi kebijakan itu tidak membuat semua orang tua atau wali murid puas. Rupanya, ketidakpuasannya masih dilampiaskan di saat siswa sudah memasuki tahun ajaran baru 2018/2019. Itu seperti yang terjadi di Bandung, Jawa Barat.
Mansurya Manik bersama istri dan anaknya, baru-baru ini, berniat jalan dari Bandung menuju ke Istana Merdeka, Jakarta untuk memprotes penerapan sistem zonasi. Aksi itu akan dilakukan lantaran ia menilai Pemkot Bandung tidak merealisasikan janjinya untuk menempatkan siswa yang tidak lolos sistem zonasi. Padahal, anak mempunyai nilai rata-rata di atas 9.
Tetapi, akhirnya setelah ada pembicaraan antara orang tua siswa dengan Dinas Pendidikan Kota Bandung, aksi protes dengan jalan kaki batal dilakukan.
“Aksi ini kami batalkan karena aspirasi kami sudah diakomodir oleh Disdik Kota Bandung,” kata Mansurya, sebagaimana ditulis pikiranrakyat.com.
Hasil pertemuan dengan Disdik Kota Bandung membuat orangtua bisa bernapas lega. Bersama Mansurya, ada sekitar 10 wali siswa yang akhirnya bisa memasukkan anak-anaknya ke SMP.
“Langkah pemerintah ini perlu diapresiasi,” ujarnya.
Kabid Pembinaan dan Pengembangan Disdik Kota Bandung Hadiana Soeriaatmadja menjelaskan, pemerintah hanya mengabulkan tuntutan orangtua yang anaknya tidak lolos zonasi akibat kesalahan sistem. Orangtua juga harus sudah melayangkan keberatan melalui layanan pengaduan PPDB.
“Saat sistem memetakan jarak dari rumah ke sekolah, tidak menutup kemungkinan ada kesalahan. Sehingga tidak diterima di sekolah, nah itu yang kami kabulkan permintaannya,” kata Hadi.
Selain itu, nilai siswa juga menjadi pertimbangan. “Kalau jaraknya jauh, nilainya juga sangat kurang ya tidak bisa. Tapi kemarin nilainya bagus-bagus,” tuturnya.
Dengan begitu, kata Hadi, penambahan siswa itu tetap dilakukan dengan sistem zonasi. Tidak ada transaksi jual beli bangku sekolah.
Meski ada penambahan siswa, Hadi mengatakan, hal itu tidak mengubah rasio rombongan belajar, yaitu 1:32.
“Ada yang satu sekolah tambah satu siswa. Tidak semua ke negeri, ada juga yang ke swasta,” ujarnya.
Sementara itu, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menilai PPDB melalui sistem zonasi masih memiliki sejumlah kelemahan. Kelemahan yang dimaksud seperti munculnya PPDB jalur mandiri yang terjadi di Lampung. Kemudian penyalahgunaan jalur siswa tidak mampu seperti di Jawa Tengah dan Jawa Barat, kemudian jalur migrasi seperti di DKI Jakarta, hingga sekolah yang tidak mendapatkan murid di Kota Solo.
“Permendikbud 14/2018 tentang PPDB yang tujuan utamanya untuk pemerataan dan meminimalisir mobilitas siswa ke sekolah tertentu, masih memiliki kelemahan,” ucap Sekjen FSGI, Heru Purnomo sebagaimana ditulis rebuplika.
Dia menjelaskan kelemahan itu bermula dari Permendikbud pada bagian keenam tentang biaya di pasal 19. Pasal itu berbunyi “Pemprov wajib menerima dan membebaskan biaya pendidikan bagi peserta didik baru yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu yang berdomisili dalam satu wilayah daerah provinsi paling sedikit 20 persen dari jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima dibuktikan dengan SKTM”.
Bahkan di Mataram, sekolah diharuskan menerima 25 persen siswa dari jalur prasejahtera yang dibuktikan dengan kartu Program Keluarga Harapan atau Kartu Indonesia Pintar (KIP). Sehingga, menimbulkan gejolak dari pemegang kartu-kartu lain seperti KIS, KKS yang akhirnya harus diakomodir.
Kemudian untuk domisili calon peserta didik yang termasuk dalam zonasi sekolah didasarkan pada alamat Kartu Keluarga yang diterbitkan paling lambat enam bulan sebelum pelaksanaan PPDB.
Pasal ini tidak terukur dengan jelas alasan migrasi dari suatu daerah ke daerah lain sehingga secara faktual. Sehingga, banyak ditemukan migrasi dipergunakan untuk memperoleh peluang bersekolah di sekolah negeri (favorit) yang mengakibatkan menutup peluang siswa alih jenjang di zona tersebut.
Untuk radius zonasi, justru membatasi sekolah yang ada di pusat kota yang jauh dari konsentrasi pemukiman warga untuk memperoleh siswa, akibatnya sekolah tersebut kekurangan siswa.
Kelemahan pasal di atas juga membawa kerugian bagi sekolah-sekolah yang tidak terpenuhi daya tampungnya. Sehingga, berakibat bagi guru-guru yang berada di sekolah tersebut tidak terpenuhinya jumlah jam mengajar. Padahal guru-guru butuh banyak jam mengajar sebagai syarat mendapat tunjangan sertifikasi.
Untuk itu, FSGI menyarankan perlu adanya perbaikan dalam Permendikbud tersebut. Terutama, pada pasal-pasal yang menimbulkan kerancuan.