Siedoo, ANGGARAN pendidikan dikucurkan tidak lain untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Di Indonesia, paska reformasi digulirkan tahun 1998, anggarannya 20 persen dari APBN. Di tahun 2018, besarannya diketok Rp 444 triliun, jauh lebih besar dibanding tahun 2017, Rp 426 triliun.
Tetapi meski dianggarkan 20 persen, sayangnya kualitas pendidikannya masih kalah dibanding negara tetangga. Seperti Singapura, Brunai Darussalam, Malaysia, Thailand. Ditingkat ASEAN seperti yang dilansir Deutsche Welle, kualitas pendidikan di Indonesia berada di peringkat lima. Sedangkan di dunia, peringkat pendidikan di Indonesia menduduki urutan 61. Sungguh ini memprihatinkan.
Masih rendahnya kualitas tersebut dipengaruhi berbagai hal. Diantaranya rendahnya kesejahteraan guru, khususnya guru honorer. Sebab, bagaimanapun guru honorer ikut berkontribusi dalam mendidik anak bangsa. Jumlah guru honorer sebanding dengan guru yang berstatus negeri, PNS. Jumlahnya masing-masing di angkat satu juta lebih.
Sering didengar, guru honorer memiliki gaji sangat rendah. Belakangan ini di jagat net dihebohkan dengan gaji guru honorer Rp 35.000 per bulan. Sangat miris. Meningkat dari itu, gaji guru honorer ada yang Rp 100.000, Rp 150.000 hingga Rp 500.000. Jauh dari kata layak, sangat di bawah UMK daerah mana pun.
Dengan gaji itu tentu guru akan berpikir cara menambah penghasilan diluar jam belajar. Padahal, sejatinya guru harus mempersiapkan materi-materi sebagai bahan pembelajaran untuk siswa. Waktu yang seharusnya untuk menyiapkan materi digunakan untuk “berpolah tingkah” menambah pundi-pundi ekonomi. Diantara mereka ada yang nyambi jadi petani, tukang ojek, buruh, pedagang hingga penyanyi.
Guru dirasa menjadi faktor dominan dalam mencerdaskan anak didiknya. Rendahnya kesejahteraan guru sedikit banyak berdampak pada kualitas rendahnya dalam mengajar. Rendahnya kualitas guru berdampak pada rendahnya kualitas pendidikan.
Sejatinya, kegiatan belajar mengajar di sekolah adalah mentranformasikan ilmu pengetahuan dari guru ke anak didik. Sarana pendukung seperti bagusnya gedung sekolah, lengkapnya fasilitas kegiatan belajar mengajar tetap diperlukan. Tetapi, itu bukanlah menjadi primer.
Penghasilan guru honorer tersebut mesti tetap menjadi perhatian dari pemerintah. Nasibnya tidak bisa dipandang sebelah mata. Menyadur dari Jawa Pos, bahwa peningkatan kesejahteraan guru menjadi salah satu prioritas dari plot anggaran pendidikan di tahun 2018.
Sekupnya, akan ada sertifikasi bagi 25 ribu guru. Kemudian 128.626 guru akan menjalankan peningkatan program kompetensi. Sebanyak 222.204 guru juga akan diberikan tunjangan profesi guru, naik 100 persen dibanding tahun lalu.
Untuk meraih sertifikasi dengan tunjangannya, tentunya tidak datang begitu saja. Ada perjuangan yang ditempuh guru, mengikuti ujian, termasuk kelengkapan syarat administrasi. Dalam mengikuti ujian, agar bisa lulus, tentu guru harus memiliki kualitas yang mumpuni sesuai bidang disiplin ilmunya.
Syarat administrasi pun juga begitu. Mata pelajaran yang diampu di sekolah sesuai dengan disiplin ilmu saat duduk di bangku perguruan tinggi.
Terkait 222.204 guru akan diberikan tunjangan profesi guru, yang akan naik 100 persen dibanding tahun sebelumnya sampai saat ini belum terdengan jelas. Keperpihakan pemerintah terhadap guru honorer belum jelas.
Dari satu juta guru honorer yang sudah terdata di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), ada sekitar 252 ribu guru honorer yang sudah S-1 dan usianya di bawah 33 tahun (Jawa Pos). Untuk bisa menjadi PNS pun mereka tidak serta merta diangkat. Harus melalui tes tertulis, bersaing dengan orang banyak.
Menempuh jalur menuju PNS sulit. Gambarannya Pemerintah Pusat di tahun 2018 hanya akan membuka 200.000 lowongan PNS di seluruh Indonesia mulai dari berbagai pemerintah daerah, lembaga dan kementerian. Itu artinya jumlah untuk lowongan PNS untuk guru sangat kecil.
Salah satu alterlatif yang ditawarkan pemerintah, dalam meningkatkan tingkat kesejahteraan guru adalah dengan system kontrak. Namanya Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K). Itu pun tidak semua guru honorer bisa diangkat. Harus memenuhi syarat, pertama sesuai disiplin ilmunya, usia maksimal 33 tahun.
Dari hal tersebut, sulit rasanya pemerintah pusat langsung meningkatkan kesejahteraan guru dengan bermurah hati. Semua ada tahapannya. Pecahan anggaran dari Rp 444 triliun tak ada lagi buat guru honorer di tahun ini.
Anggaran untuk Guru Honorer Terkunci
Disamping untuk sertifikasi bagi 25 ribu guru, tunjangan untuk 222.204 guru, plot anggaran Rp 444 trilun juga untuk pembangunan sekolah baru. Sasarannya akan dibangun 73 unit sekolah baru dan 4.904 ruang kelas baru. Meluas dari hal tersebut juga akan ada rehabilitasi 21.287 ruang kelas baru, pembangunan perpustakaan sebanyak 2.515 unit.
Akreditasi sekolah ternyata juga dimasukkan dalam anggaran tersebut. Sebab, akreditasi sekolah setiap 5 tahun harus diupdate, tahun 2018 ada 57 ribu lembaga.
Anggaran masih juga untuk Kartu Indonesia Pintar (KIP) Tahun 2018, sasarannya bagi 17.926.308 anak. Lalu pembangunan ruang kelas baru SMK sebanyak 1.500 ruang. Termasuk pembangunan gedung SMK baru sebanyak 25 unit.
Disamping itu juga untuk pendidikan karakter ditargetkan untuk 1.684 sekolah, revitalisasi desa adat 118 desa, revitalisasi museum 37 unit.
Dari pembagian pos-pos tersebut, perhatian untuk guru honorer tertutup sudah. Untuk bisa meningkat kesejahteraannya, masih dalam profesi guru, harus berupaya keras mendaftar menjadi PNS, menjadi guru bersertifikasi, atau masuk dalam P3K.
Beda lagi jika ada pemerintah daerah atau pemerintah provinsi, yang menerapkan terobosan, menerapkan kebijakan bagi guru honorer mendapatkan upah layak. Sesuai upah minimum kota/kabupaten (UMK). Itu tentu sesuai kebijakan kepala daerah dan kemampuan anggaran.
Di momentum Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun 2018, kesejahteraan guru honorer, juga kualitas guru honorer dan PNS tetap harus menjadi perhatian. Organisasi-organisasi keguruan seperti PGRI, PERGUNU, FGII, FSGI, PGSI harus tetap menyuarakan suara akar rumput, terutama guru honorer. DPRD hingga DPR RI harus merespon aspirasi dari mereka. Mendorong Pemerintah Pusat untuk memberi kebijakan yang berpihak pada guru honorer, terutama dari sisi anggaran.
Bagaimanapun, guru mestinya hidup dalam kesejahteraan, tercukupi hidupnya dalam memenuhi kebutuhan. Guru juga mesti sadar dan mau meningkatkan kualitas diri. Kini, di era perkembangan informasi dan teknologi yang semakin cepat, guru juga pantasnya mengikuti perkembangan tersebut.
Selamat Hari Pendidikan Nasional !.