Siedoo.com -
Opini

Hari Pendidikan, Kurikulum Ki Hadjar Dewantara Paling Cocok Diterapkan di Indonesia

Siedoo, BERBICARA pendidikan di Indonesia tidak lepas dari sosok Ki Hadjar Dewantara. Ia seorang pakar yang berkecimpung dan mengonsentrasikan keahliannya dalam bidang pendidikan. Berbagai konsep strategis tentang pendidikan di IndonesIa, hampir seluruh aspeknya senantiasa merujuk pada pemikirannya.

Ki Hadjar Dewantara dikenal secara luas, baik di dalam maupun di luar negeri. Ia dikenal karena perannya dalam pendidikan nasional yang tidak bisa dilupakan oleh bangsa Indonesia.

Ki Hadjar yang tanggal lahirnya dijadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional, merupakan suatu hal yang tepat. Mengingat konsepsi Ki Hadjar di bidang pendidikan, seperti: Teori Tripusat Pendidikan, Sistem Among, Tut Wuri Handayani, Pancadharma, dan lainnya, telah menyejajarkannya dengan tokoh-tokoh pendidikan dunia. Seperti Frobel, Peztalozzi, John Dewey, Montessori, Rabindranat Tagore, dan lain-lain. Yang diwariskan dari Ki Hadjar adalah jasa-jasa dan jiwa pendidik yang tidak memihak golongan, tetapi bersifat nasional.

Ruh pendidikan adalah karakter, Ki Hadjar menyebutnya budi pekerti. Menurutnya, pendidikan harus mampu menuntun tumbuhnya karakter dalam hidup sang anak (anak didik) supaya mereka kelak menjadi manusia yang memiliki pribadi yang beradab dan susila.

Kecerdasan memang diperlukan segenap anak didik, tetapi karakter lebih diperlukan. Kecerdasan tanpa diimbangi karakter justru akan menjerumuskan kehidupan anak didik itu sendiri. Dalam konteks pengembangan kurikulum, maka substansi pendidikan karakter bersifat mutlak.

Permasalahannya, apakah pendidikan karakter harus menjadi mata pelajaran? Dalam hal ini Ki Hadjar bersikap bijak, dengan menyatakan pendidikan karakter itu wajib diberikan kepada anak meskipun tidak harus menjadi mata pelajaran tersendiri. Ini berarti pendidikan karakter bisa menjadi mata pelajaran tersendiri, tetapi bisa juga terintegrasi pada mata pelajaran lain.

Kurikulum Ki Hadjar Dewantara

Bagaimana menyampaikan pendidikan karakter? Dalam hal ini menurut Ki Hadjar ada empat tingkatan, yakni syari’at, hakikat, tarikat, dan makrifat. Tingkat syari’at cocok diberikan kepada anak yang sangat muda, dalam hal ini anak TK. Metodenya dengan membiasakan berperilaku baik menurut ukuran umum. Misalnya mengucapkan salam ketika bertemu teman, memberikan hormat ketika bertemu guru, dan mencium tangan ketika berhadapan dengan orangtua.

Tingkat hakikat cocok diberikan kepada murid SD. Anak dibiasakan berperilaku baik menurut ukuran umum. Dalam waktu bersamaan diberi pengertian mengapa harus berbuat demikian. Contohnya, di samping dibiasakan mengucapkan salam sewaktu bertemu teman, mereka juga diberi pengertian tentang pentingnya mengucap salam itu. Misalnya, dapat menimbulkan ikatan hati dan keakraban lahir-batin antarteman.

Baca Juga :  5 Teknik Mengajar yang Harus Dikuasai Guru

Tingkat tarikat cocok diberikan kepada siswa SMP. Siswa dibiasakan berperilaku baik, diberi pengertian pentingnya hal itu dilakukan, bersamaan waktunya disertai aktivitas pendukung yang cocok. Misalnya bagaimana anak-anak tersebut berkesenian, berolah puisi, berolahraga, dan bersastraria sambil berolah budi.

Contohnya adalah anak-anak SMP dilatih menari “halus” sambil dijelaskan makna gerakan yang ada di dalamnya untuk menanamkan karakter.

Tingkat makrifat cocok diberikan kepada siswa SMA. Anak disentuh pemahaman dan kesadarannya. Sehingga, berperilaku baik bukan sekadar kebiasaan, melainkan memiliki kesadaran di lubuk hatinya untuk melakukan hal tersebut. Sang anak mengerti maksud berperilaku baik dan perilakunya tersebut dijalankan berdasarkan kesadaran diri.

Apakah pendidikan karakter hanya diberikan oleh guru Agama dan guru PKn? Jawabannya, tentu tidak. Pendidikan karakter wajib diberikan oleh semua guru. Baik guru kelas maupun guru mata pelajaran.

Hal tersebut seperti ditulis oleh Ki Hadjar dalam majalah Poesara edisi Februari 1954. Ki Hadjar menyatakan, pendidikan karakter wajib disampaikan kepada siswa oleh semua guru.

”Pengajaran budi pekerti sebaiknya diberikan secara spontan oleh sekalian pamong, setiap ada kesempatan dan tidak harus menurut daftar pelajaran. Pendidikan budi pekerti harus diberikan oleh tiap-tiap pamong, baik mengajarkan bahasa, sejarah, kebudayaan maupun ilmu alam, ilmu pasti, menggambar, dan sebagainya,” tulisnya.

Jelas sekali bahwa pendidikan karakter itu harus disampaikan oleh semua guru di sekolah. Dalam hal ini, oleh guru kelas I-VI di SD berbasis guru kelas, guru kelas VII-IX pengampu mata pelajaran apa pun di SMP yang berbasis guru mata pelajaran. Serta, guru kelas X-XII pengampu mata pelajaran apa pun di SMA dan SMK yang berbasis guru mata pelajaran.

Di sinilah, kita dapat melihat bahwa konsep pendidikan karakter Ki Hadjar tersebut sesungguhnya memberi arahan yang jelas dalam pengembangan kurikulum pendidikan kita. Baik secara substansif, metodologis, maupun teknis pelaksanaan.

Baca Juga :  Tindakan Preventif Penularan Corona Melalui Pembiasaan Anak Hidup Bersih

Sebagai pemikir dan praktisi pendidikan, Ki Hadjar dalam berbagai bukunya tidak menjelaskan atau mengartikan kurikulum secara teknis. Namun secara substansial, dapat dijumpai bahwa Ki Hadjar dengan caranya sendiri banyak membicarakan masalah kurikulum. Yakni, kurikulum dalam arti konvensional. Yaitu nama-nama mata pelajaran yang perlu diajarkan kepada para siswa sesuai dengan tingkatannya.

Ki Hadjar secara eksplisit, tidak berbicara tentang kurikulum dalam pengertian sebagai kurikulum yang bersifat konsepsional teoritis akademis, sebagaimana yang dikenal sekarang. Dalam konteks ini kita dapat mengatakan bahwa Ki Hadjar tidak memiliki kapasitas sebagai seorang teoritisi murni semata-mata.

Ki Hadjar lebih memperlihatkan perpaduan antara teoritisi dan praktisi. Sebagai teoritisi, terlihat pada gagasan dan pemikirannya yang didasarkan pada kebutuhan obyektif masyarakat serta situasi kultural yang berkembang pada zamannya. Sedangkan sebagai praktisi, terlihat pada upaya melaksanakan gagasan dan pemikirannya itu.

Terkait hal ini, Ki Hadjar mengatakan, pelajaran yang dibolehkan kepada anak-anak boleh dibagi menjadi dua. Pertama, mata pelajaran yang selain memberi pengetahuan atau kepandaian juga berpengaruh kepada kemajuan batin, dalam arti memasakkan (mematangkan) pikiran, rasa dan kemauan.

Kedua, adalah mata pelajaran yang akan memberi bekal pada anak-anak untuk hidupnya kelak dalam dunia pergaulan umum. Yaitu, mata pelajaran yang meliputi lapangan kultural dan kemasyarakatan.

Ki Hadjar mengatakan, pelajaran yang menajamkan pikiran dan berdasarkan kemasyarakatan itu umumnya menjadi pokoknya program pendidikan secara Barat, yang kita jumpai dalam sistem sekolah dengan titik beratnya. Seperti intelektualisme dan materialisme, yaitu mendewakan angan-angan dan keduniaan.

Adapun pendidikan secara Timur yang sekarang juga mulai dimasukkan dalam cara pendidikan di Eropa. Biasanya mengutamakan keluhuran budi pekerti.

Tetap relevan

Kurikulum Ki Hadjar Dewantara merupakan kurikulum yang paling sesuai atau cocok diterapkan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Namun, setelah era Ki Hadjar berlalu, berganti pula kurikulum yang diterapkan di negara tercinta.

Sejak tahun 1947 kurikulum Indonesia telah sembilan kali berganti. Yaitu pada tahun 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, dan terakhir yang kita kenal dengan Kurikulum 2013.

Baca Juga :  Tiga Opsi Pedoman Pelaksanaan Kurikulum dalam Kondisi Khusus Covid-19

Pergantian kurikulum memang bertujuan meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Sehingga, mengganti kurikulum baru dengan mengacu kepada negara lain yang pendidikannya lebih maju. Istilahnya mengadopsi kurikulum negara lain.

Tetapi justru hal ini dinilai rancu, mengingat implementasinya setengah-setengah. Artinya tidak seluruhnya komponen kurikulum yang diadopsi bisa diterapkan di Indonesia.

Seperti usia anak mulai sekolah, jam pelajaran, pengelompokan bakat anak, dan sebagainya. Belum lagi secara geografi, sosial dan kultural negara pemilik kurikulum dimaksud sangat berbeda dengan Indonesia.

Sejak 2004, kurikulum Indonesia seolah telah kehilangan pendidikan karakter. Sehingga, banyak remaja yang kurang memiliki rasa tenggangrasa, sikap sopan santun, dan sikap menghargai orang lain. Bahkan, sejak dihilangkannya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) banyak anak bertindak melanggar norma-norma yang berlaku. Serta, kurang memiliki tatakrama selayaknya sebagai Bangsa Timur.

Terlebih saat ini sedang gencar diterapkannya Kurikulum 2013. Yang banyak kalangan berpendapat kurikulum ini diadopsi dari Finlandia. Salah satu negara Eropa yang saat ini memiliki peringkat terbaik dalam hal pendidikan.

Namun, perlu diketahui juga bahwa negara-negara di Eropa termasuk Finlandia saat ini sedang mempelajari kurikulum yang menitikberatkan pendidikan karakter (budi pekerti). Di mana pendidikan budi pekerti telah kita miliki, yaitu pada Kurikulum Ki Hadjar Dewantara. Bisa jadi di masa mendatang negara kita mengadopsi kurikulum dari negara Eropa yang nota bene negara itu menerapkan kurikulum Ki Hadjar Dewantara. Sungguh ironis!

Sehingga menurut penulis, kurikulum yang tepat dan cocok dan tetap relevan untuk pendidikan di Indonesia adalah Kurikulum Ki Hadjar Dewantara. Bukan berarti mengecilkan kebaikan Kurikulum 2013, namun secara keseluruhan Kurikulum Ki Hadjar Dewantara tetap sebagai kurikulum terbaik untuk bangsa Indonesia.

Semoga tulisan ini menjadi sebuah wawasan dan pertimbangan bagi para pengambil kebijakan pendidikan di Indonesia. Selamat Hari Pendidikan Nasional! Dirgahayu pendidikan Indonesia!

 

*Narwan, S.Pd

Guru SD Negeri Jogomulyo Kecamatan tempuran

Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah

Apa Tanggapan Anda ?