Siedoo.com -
Featured

Napak Tilas Perjuangan Pendidikan RA Kartini

Siedoo, “TUBUH boleh terpasung, tapi jiwa dan pikiran harus terbang sebebas-bebasnya,”

Itu merupakan perkataan Kartini dalam Film Kartini, yang dilaunching satu tahun lalu.

Perkataan itu menggugah, memberi semangat untuk terus mengasah pikir dan jiwa.

Di film yang disutradarai Hanung Bramantyo itu, Kartini sebagai putri Bupati Japara (kini Jepara), RM Adipati Ario Sosroningrat, dalam kodratnya sebagai perempuan, disiapkan untuk bergelar Raden Ajeng (RA) dan menjadi suami dari keluarga bangsawan. Atas sebab itu, ia dipingit sejak usia 12 tahun.

Kartini berontak. Ia ingin bebas, ia ingin merasakan dunia luar seperti di usia 10 tahun, yang saat itu masih diperkenankan sekolah.

Tak betah dipingit, Kartini minta tolong pada kakaknya, Sosrokarnoto. Tapi Sosro tak bisa berbuat banyak. Hanya memberi sentuhan keluasan hidup pada Kartini.

“Ini kunci untukmu, jalan keluar ada di kamarku,” kata Sosro pada Kartini sebelum pergi ke Belanda untuk sekolah.

Atas tawaran kunci itu, sekilas terlintas dalam benak Kartini, dirinya bisa bebas keluar dari area kadipaten, lepas dari pingitan.

Kartini yang diperankan Dian Sastrowardoyo, lalu ke kamar Sasro. Dicobalah kunci itu. Yang bisa dibuka hanya lemari. Kartini takjub, sebab yang dijumpainya tumpukan buku. Kartini mencoba membacanya.

Di zaman itu, 1900-an, di masa remaja dan dewasa yang boleh sekolah masih diberlakukan dari keluarga bangsawan. Namun, yang diizinkan hanya kaum pria.

Di durasi selanjutnya, datanglah tamu dari Belanda ke kadipaten. Saat berbincang dengan ayahnya, Kartini menyela sambil menghidangkan minuman. Kartini menyeletup dengan bahasa Belanda pada tamunya.

Pejabat Pendidikan dan Kebudayaan Belanda Ovink Soer terkesima dengan lancarnya Kartini berbahasa Belanda. Ia kepincut. Ovink meminta ayah Kartini, RM Adipati Ario Sosroningrat, untuk melonggarkan pingitannya. Permintaanya dikabulkan.

Baca Juga :  Gerakan Dosen, Inginkan Panti Bebas Kejahatan Seksual

Dari sinilah kemudian pintu belajar terbuka lagi. Sampai kemudian ia mendapat pelajaran berharga dari Ovink di lingkup rumah. Kartini juga diajari menulis artikel. Karena karyanya dianggap layak, kemudian diterbitkan majalah milik Belanda, De Hollandsche Lelie, hingga berulang kali. Banyak pejabat yang memuja kepintaran Kartini. Kepintarannya tak terbendung.

Seiring waktu berjalan, Kartini tergugah untuk menularkan ilmunya pada perempuan dan anak-anak miskin. Ia dibantu adik-adiknya, Kardinah (Ayushita Nugraha) dan Roekmini (Acha Septriasa) mendirikan sekolah kecil-kecilan di kadipaten.

Namun lagi-lagi upaya untuk bisa keluar rumah terbendung. Ia dipingit lagi. Penghalang kuat adalah kakaknya, Raden Mas (RM) Slamet. Sekolahnya pun terhenti.

“Bakar surat ini !!,” perintah RM Slamet pada pengabdi kadipaten Atmo, setelah mengetahui surat Kartini yang akan dikirim ke Ovink.

Isi suratnya, Kartini yang dalam film itu terkadang disebut Trinil, meminta pertolongan ke Ovink agar bisa dibebaskan lagi dari pingitannya.

Di film yang berdurasi 122 menit ini, Kartini juga berkesempatan untuk sekolah ke Belanda. Ini menjadi pemicu konflik di kadipaten tinggi. Naik darah, dari yang pro Kartini, ayahnya, hingga yang kontra, ibunya RA Moeryam (ibu tiri), kakaknya RM Slamet dan RM Mulyono.

Belum lagi dari tekanan sesama pejabat bupati terhadap ayah Kartini. Mereka mencerca RM Adipati Ario Sosroningrat yang mengizinkan Kartini sekolah ke Belanda.

Karena banyaknya tekanan ini, ayah Kartini jatuh sakit. Nyaris koma.

Perlahan, konflik mulai reda. Kondisi kesehatan ayahnya mulai membaik. Kesempatan datang, tanda-tanda bangsawan calon suami Kartini mulai muncul. Kartini dijodohan dengan Bupati Rembang, Raden Adipati Joyoadiningrat.

Kartini mengajukan empat syarat untuk mau dimadu. Di antara poinnya setelah menikah agar diizinkan untuk mendirikan sekolah di sekitar Kadipaten Rembang.

Baca Juga :  Hari Guru, Siswa SMK Justru Sandera Kepala Sekolah

Syarat ketiga, mendirikan sekolah, buat perempuan dan orang miskin,” kata Kartini dihadapan ayah, ibu tiri, dan dua kakaknya.

Ibu tirinya sempat menolak, namun apa daya, keputusan ada di ayahnya. Disetujuilah syarat-syarat itu, yang kemudian disampaikan lewat surat tertuju pada Bupati Rembang.

Di saat yang tepat, Bupati Rembang datang ke kadipaten Japara. Dalam perbincangan pada keluarga Kartini, Bupati Rembang menyatakan menerima syarat-syarat tersebut.

“Saya terima syarat-syarat itu,” kata Raden Adipati Joyoadiningrat pada Kartini.

Mereka pun menikah. Saat mengaruhi kehidupan di Rembang, Kartini mendirikan sekolah. Tawaran sekolah dari Belanda ia ditolak. (*)

Apa Tanggapan Anda ?