SURABAYA, siedoo.com – Salah satu doktor dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menggagas sebuah inovasi yang baru pertama di Indonesia. Yakni, terkait deteksi epilepsi dan penentuan lokasi penyebabnya pada otak.
———
Epilepsi merupakan penyakit langka yang disebabkan karena tidak normalnya fungsi salah satu titik pada bagian otak. Dalam penyembuhannya diperlukan metode yang cepat dan tepat.
Dr Dwi Sunaryono SKom MKom dari Departemen Teknik Informatika ITS menyebutkan, di samping sebagai penyakit yang membahayakan keselamatan manusia, epilepsi juga sebagai salah satu penyakit yang metode penyembuhannya tidak cukup apabila hanya ditangani dengan obat.
Oleh sebab itu, diperlukan pendeteksi lokasi sumber epilepsi yang otomatis dengan akurasi yang lebih tinggi.
“Sehingga perlu diintegrasikan penggunaan alat Electroencephalogram (EEG) dengan Artificial Intelligence (AI) untuk menjawab persoalan itu,” jelas Dwi dalam presentasi disertasinya pada Sidang Promosi Doktor di Departemen Teknik Informatika ITS, Rabu (6/9).
Lebih lanjut, menurut Dwi, EEG merupakan alat yang difungsikan untuk merekam segala aktivitas kelistrikan otak yang menghasilkan output berupa sinyal frekuensi.
Melalui alat ini, sinyal terekam dari berbagai pergerakan manusia dan suara yang timbul, baik secara sadar ataupun tidak.
Hal itu meliputi Eye Movement (EYEM) akibat dari pergerakan mata, Artifact (ARTF) yang salah satunya dapat timbul karena suara mesin EEG, serta Background (BCKG) yang tidak memiliki arti dalam bentuk sinyalnya.
Dari beragam sinyal yang didapatkan itu, lanjut Dwi, kemudian perlu dideteksi adanya sinyal yang merujuk pada Interictal Epileptiform Discharge (IED) yang menjadi tanda bahwa terjadi sesuatu yang tidak normal di otak, salah satunya karena epilepsi.
Dengan ciri sinyal yang memiliki lonjakan tajam, lalu menurun, dan naik secara konstan mendatar.
“Maka, perlu untuk memproses apakah sinyal dari EEG ini terindikasi sinyal IED, sehingga bisa ditentukan lokasinya melalui algoritma yang digagas tersebut,” ujar Dwi.
Perumusan algoritma oleh dosen mata kuliah Dasar Pemrograman ini diawali dengan standarisasi kanal EEG berupa peletakan jumlah elektroda yang mengikuti aturan internasional.
Lalu diatur frekuensi pada EEG sebesar 1 Hertz (Hz) hingga 40 Hz untuk meminimalisir adanya campuran sinyal yang terbentuk dari noise atau pergerakan tubuh yang secara tidak sadar.
“Serta dilakukan resampling sebesar 250 Hz untuk standarisasi sinyal EEG, dan dihapuskan sinyal ARTF, BCKG, dan EYEM untuk mendapatkan sinyal IED,” paparnya.
Dari urutan yang disebut praproses tersebut, terang Dwi, algoritma akan menentukan apakah EEG mengandung IED atau tidak. J
ika iya, maka dianotasikanlah lokasi IED pada otak dan dibuatkan kumpulan anotasi atau titik lokasi yang disebut epoch. Selanjutnya, dihitung noise covariance guna menentukan keanehan yang ada pada titik lokasi berdasarkan rata-rata frekuensi.
Proses penentuan lokasi ini pun kemudian dibantu dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk mengetahui kepastian lokasi IED.
Dijelaskan lagi oleh Dwi, data dengan format file High Dynamic Range (HDR) yang didapat dari MRI selanjutnya dikonversi ke format file nii.gz dan dilakukan rekonstruksi ulang pada tahap recon all untuk membedakan lokasi otak, lapisan otak, dan kulit kepala.
Dosen yang berhasil dinyatakan lulus doktor ini kemudian mengatakan, hasil data dari MRI tersebut lalu disesuaikan dengan data yang didapat oleh EEG. “Dihitung juga source base untuk memastikan segmentasi posisi otak,” tambahnya.
Dwi menerangkan, proses yang dinamakan Image Segmentation itu berlanjut pada Mesh Generation guna mendistribusikan sinyal EEG menjadi ribuan titik.
Hal itu dilakukan untuk lebih memastikan posisi dan koordinat otak. Setelah itu dilakukan penyesuaian kembali titik dengan volume otak pada proses yang dinamakan Boundary Element Model (BEM).
“Jadilah titik tersebut akan membentuk otak manusia sesuai dengan posisi dan ukurannya,” ungkapnya.
Selanjutnya, imbuh alumnus Teknik Komputer ITS ini, titik yang merupakan representasi dari sinyal frekuensi pada otak itu kemudian dihitung channel average untuk mendapatkan nilai frekuensi yang tepat dalam membuktikan keberadaan sinyal IED.
Segmentasi otak dari MRI dan titik keberadaan IED dari data EEG lalu diintegrasikan pada aplikasi topography map untuk menggambarkan pergerakan energi tiap detiknya atau yang disebut dengan Source Time Courses (STCS).
Lelaki asal Surabaya itu menjelaskan, proses beranjak ke parselisasi, yaitu pemetaan pada area otak.
Apabila pemetaan sudah teridentifikasi, maka dilakukan transformasi STCS ke volume space untuk menentukan koordinat titik IED yang lebih tepat.
Penelitian yang dikemas dalam algoritma otomatis EEG ini pun menunjukkan hasil yang sesuai dengan diagnosa lokasi epilepsi oleh dokter neurologi dan ahli bedah dari RSUD dr Soetomo, Surabaya.
Hal itu pun membuat lelaki berusia 52 tahun ini dapat menyelesaikan studi S3-nya tepat waktu dan menciptakan inovasi yang sebelumnya belum pernah ada di Indonesia.
Melalui penelitian disertasinya ini, Dwi berharap agar algoritma yang diciptakan dapat diimplementasikan lebih lanjut pada bidang kedokteran.
Sebab nyawa manusia merupakan taruhan apabila terjadi sedikit kesalahan pada diagnosa titik koordinat IED yang menyebabkan epilepsy. (its/siedoo)