SEMARANG, siedoo.com – Wakil Gubernur Jawa Tengah (Wagub Jateng) Taj Yasin menyampaikan, kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di lembaga pendidikan, setidaknya bisa menjadi gambaran, bahwa intelektualitas yang tinggi tidak menjamin seseorang tidak melakukan kekerasan seksual.
Dia mengungkapkan, dari data yang ada, ternyata isu kekerasan seksual, sebanyak 40% terjadi di kampus. Bahkan di kampus sendiri, ternyata terjadi pada strata 2, yang mana mereka ini mindset-nya di masyarakat adalah orang-orang yang memiliki intelektual tinggi.
“Dengan semakin tingginya jenjang prestasi, mereka dianggap, wow ini adalah orang-orang yang patut dihormati, menjadi teladan. Kalau teladannya sudah seperti itu, bagaimana masyarakat kita?” sorot wagub dilansir dari jatengprov.go.id.
Hal itu disampaikan saat menghadiri kegiatan Sosialisasi Prosedur Operasional Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual, di Hotel Patrajasa, Semarang, Jumat (14/10/2022).
Untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual, lanjut wagub, ternyata tidak cukup dengan hanya intelektualitas yang tinggi. Tetapi, butuh dilengkapi dengan internalisasi nilai-nilai agama. Pihaknya yakin, semua agama pasti mengecam tindakan kekerasan seksual, karena perbuatan tercela dan tidak manusiawi.
“Yang agama Islam harus didampingi, yang agama Kristen harus didampingi, Hindu harus didampingi, dan semua agama harus didampingi oleh guru-gara agama, yang notabenenya benar-benar guru agama. Tidak hanya sebagai identitas guru agama saja. Karena tadi saya sampaikan, kalau hanya identitas, jangan-jangan malah pelakunya dari mereka yang berkedok agama. Saya nggak mau itu,” katanya tegas.
Gus Yasin, sapaan wagub, menyambut positif langkah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang telah mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Regulasi itu menjadi pintu masuk bagi warga kampus, untuk melakukan tindakan preventif (pencegahan) kekerasan seksual. Keberadaan regulasi ini bertujuan menumbuhkan kehidupan kampus yang manusiawi, bermartabat, setara, inklusif, kolaboratif, serta tanpa kekerasan di antara mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, dan warga di perguruan tinggi.
Dengan keberadaan regulasi itu, Gus Yasin tidak menginginkan lagi ada lembaga pendidikan yang menyembunyikan kasus kekerasan seksual, apabila terjadi di lembaganya. Sebab, menyembunyikan kasus sama dengan mengabaikan hak-hak korban. Padahal dampak yang ditanggung sebagai korban kekerasan seksual, tidak ringan.
“Akhirnya apa? Penyintas itu merasa nggak diuwongke (tidak dimanusiakan). Merasa nggak punya teman. Saya sudah menjadi korban, saya sudah beritikad baik melaporkan, saya ingin hidup normal, ternyata masih diabaikan. Seandainya pun ditangani, butuh bulan-bulanan, bahkan tahunan. Maka ini tugas kita bersama,” tutupnya. (humasjateng/siedoo)