KULONPROGO – Desa Banjaroyo di lereng Perbukitan Menoreh dikenal sebagai desa yang memiliki potensi ekonomi dalam berbagai sektor seperti pertanian kakao, kerajinan tangan, wisata kuliner, pertanian durian, produk gula Jawa. Serta tempat wisata alam dan wisata rohani Gua Maria Sendangsono.
“Sektor unggulan ini kemudian menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat maupun wisatawan baik domestik maupun mancanegara, yang selanjutnya memunculkan berbagai UMKM,” kata Yohanes Wijaya Setya Arsandi, salah satu mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
Keberadaan UMKM sangat mendukung perkembangan perekonomian Desa Banjaroyo yang turut serta menyumbang pendapatan asli desa. Namun ditemukan kenyataan bahwa UMKM belum dikelola optimal dan masih mengalami kesulitan dalam pemasaran, keuangan, produksi, dan pengelolaan.
Desa tersebut kini mendapatkan program Wirausaha Desa (Wira Desa) dari Direktorat Pembelajaran dan
Kemahasiswaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Program ini merupakan program kewirausahaan yang dijalankan oleh sekelompok anggota masyarakat secara bersama – sama dengan proses pendampingan untuk penumbuhan dan pengembangan wirausaha baru dan lama yang berbasis potensi lokal dan berkonsep global.
Program Wira Desa dirancang, dilaksanakan, dimonitor dan dievaluasi oleh sekelompok mahasiswa melalui Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dan atau Lembaga Eksekutif Mahasiswa dan merupakan upaya konkrit pelaksanaan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Salah satu UKM di UNY yang mendapatkan program tersebut adalah UKM IKMK yang terdiri dari Yohanes Wijaya Setya Arsandi sebagai ketua dengan anggota Isabela Reksa Dini, Heinricus Gama Taofany, Laras Haningyuni Antini, Cornelia Maharani Verrent, Rafael Yudi Dwi Sulistyanto, Virdiana Inggried Marwanti, Ariana Estuningtyas dan Robertus Kristian Wardana.
Tim UKM IKMK UNY ini mendampingi UMKM di Desa Banjaroyo, Kalibawang, Kulon Progo. Isabela Reksa Dini menambahkan, selain itu kurangnya kesadaran masyarakat terhadap masalah administrasi dan keuangan sering menjadi penghalang bagi UMKM untuk mendapatkan legalitas dan melakukan pembayaran pajak usaha.
Hal ini disebabkan karena kurangnya informasi yang diperoleh oleh pelaku UMKM terhadap perkembangan zaman. Generasi muda yang seharusnya dapat turut serta dalam proses pembangunan desa lebih banyak memilih untuk bekerja di luar desa.
“Akibatnya banyak pelaku usaha yang sudah berusia 40 tahun ke atas harus berjuang mengembangkan usahanya dengan segala kemampuan yang ada,” tuturnya.
Heinricus Gama Taofany menyebutkan bahwa mereka membantu pengelolaan UMKM Desa Banjaroyo pada bidang kerajinan kayu dan pertanian kakao. “UMKM kerajinan kayu ini terletak dikawasan wisata Gua Maria Sendang Sono milik Bowo Susanto dengan hasil produksi berupa alat ibadah umat Katolik seperti rosario kayu, salib dan lilin,” kata Taofany.
Tim Wiradesa membantu UMKM kerajinan kayu ini dengan mengadakan pelatihan, pendampingan serta sosialisasi. Menurut Taofany agar tujuan tim tercapai, tim dibagi menjadi beberapa divisi yaitu produksi, pemasaran, keuangan dan pengelolaan SDM.
Kegiatan yang dilaksanakan yaitu pelatihan variasi produk kerajinan oleh divisi produksi, pelatihan analisis konsumen, branding dan penggunaan sarana digital oleh divisi pemasaran, pelatihan pencatatan dan penyusunan anggaran oleh divisi keuangan serta pelatihan softskill oleh divisi operasional sebagai bagian dari pengelolaan SDM.
“Apresiasi setinggi-tingginya kepada anak-anak muda dari UNY mau terjun langsung ke masayarakat untuk membantu UMKM yang sangat terdampak Covid-19 ini,” ujar Bowo Susanto.
Sedangkan pendampingan petani kakao dilakukan pada Kelompok Tani Ngudi Rejeki yang diketuai oleh Johan Salbiyantoro dan Kelompok Tani Ngudi Lestari yang diketuai oleh Sarjino. Kelompok Tani kakao tersebut merupakan kumpulan kurang lebih 227 petani.
Laras Haningyuni Antini mengatakan lahan yang tersedia di dusun Slanden tersebut dimanfaatkan secara organik tanpa menggunakan pestisida serta pupuk buatan. Kondisi tersebut menjadikan produk kakao Desa Banjaroyo unggul di mata konsumen luar negeri.
“Hal tersebut semakin menarik minat orang baik dalam negeri maupun luar negeri tertarik untuk membeli berbagai produk tersebut. Sehingga menyebabkan angka permintaan kakao setiap bulannya mencapai hitungan ton,” bebernya.
Walau demikian kerap kali ditemukan kendala dalam hal produksi dikarenakan hama penyakit yang menyerang tanaman. Hal tersebut berpengaruh terhadap hasil panen, dari 500 kg yang memenuhi syarat kualitas hanya 10 persen saja. Sama seperti yang dilakukan pada UMKM kerajinan kayu, pada UMKM kakao tim dibagi menjadi beberapa divisi yaitu produksi, pemasaran, keuangan dan pengelolaan SDM.
Kegiatannya meliputi pelatihan merawat tanaman oleh divisi produksi, pelatihan analisis konsumen, branding dan penggunaan sarana digital oleh divisi pemasaran, pelatihan pencatatan dan penyusunan anggaran oleh divisi keuangan dan pelatihan softskill oleh divisi operasional. Salah satu peserta pelatihan branding, Vina merasa senang dengan adanya pelatihan ini.
“Dengan adanya pelatihan branding, saya dapat menambah ilmu saya tentang cara membangun brand sebuah produk terutama produk kakao,” ujarnya.
Pelaksanaan program ini diharapkan mampu membantu UMKM untuk melakukan peningkatan hasil usaha secara kuantitas maupun kualitas, perubahan strategi pemasaran, peningkatan jangkauan pasar, peningkatan efisiensi dan efektivitas manajemen produksi, dan peningkatan pendapatan dan keuntungan. Selain itu pelaku UMKM diharapkan mampu menerapkan dan mengembangkan program pelatihan secara berkelanjutan pasca terselenggaranya program Wira Desa. (Siedoo)