Siedoo.com - Rizka Hanifah, S.Pd, Guru SMP Negeri 2 Plantungan, Kendal, Jawa Tengah.
Opini

Alternatif Penggunaan Bahasa Jawa Dikalangan Remaja

Siedoo, Di era globalisasi sekarang ini, teknologi semakin pesat berkembang. Berbagai informasipun dapat kita akses dengan mudah melalui media elektronik.

Hal itu bisa berdampak positif ataupun negatif dalam kehidupan. Salah satu dampak negatifnya, para remaja dimasa sekarang ini semakin berkurang rasa hormat dan sopan santunnya baik terhadap orang tua atau guru.

Nilai kebudayaan Indonesia yang menjunjung sikap persaudaraan, saling menghormati, dan menghargai sangatlah kental. Namun dalam beberapa tahun terakhir ini budaya keramahan dan sopan santun di Indonesia semakin hilang.

Hal ini dapat dilihat dari generasi muda atau peserta didik yang cenderung kehilangan etika atau sopan santun terhadap, guru, orang tua serta teman sebayanya. Siswa tidak lagi menganggap guru sebagai panutan, seseorang yang memberikan ilmu pengetahuan yang patut dihormati dan disegani.

Joko Widodo, Presiden RI menyampaikan bahwa yang paling penting adalah menumbuhkan nilai kesantunan, tata krama, karena dalam sekian tahun kita kehilangan nilai-nilai itu. Apalagi dimasa pandemi ini peserta didik kurang mendengarkan arahan tentang tata krama di dalam pergaulan sehari-hari.

Hal itu karena pembelajaran yang dilakukan secara daring dirasa kurang optimal dibandingkan pembelajaran yang dilakukan secara langsung. Dalam hal tersebut maka banyak anak remaja, khususnya peserta didik yang menyepelekan himbauan dari gurunya. Sehingga anak-anak mudah untuk berkata tidak sopan dan melakukan pelanggaran tata tertib atau pelanggaran lainnya.

Seharusnya kita harus sopan dimanapun dan kapanpun. Apalagi di Indonesia memang budayanya sangat terkenal ramah dan sopan. Sopan santun merupakan kepribadian dari masyarakat bangsa Indonesia.

Walaupun kadar kesopanan itu tidak sama, menyesuaikan lingkungan tempat dimana kita berada, namun sopan santun tidak boleh hilang. Harus tetap dilakukan karena sopan santun merupakan jati diri orang Indonesia itu sendiri.

Baca Juga :  Kongres Bahasa Indonesia XI Tahun 2018 Selesai, Ini Hasilnya

Ada dua faktor yang mempengaruhi sopan santun peserta didik yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar diri peserta didik itu sendiri. Misal banyaknya budaya barat yang masuk yang akan mempersulit dalam mempertahankan sopan santun dimanapun dan kapanpun.

Contohnya adalah pakaian para remaja atau peserta didik yang kebarat – baratan, seperti menggunakan pakaian yang serba mini yang otomatis tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Serta penggunaan bahasa yang tidak sesuai dalam pergaulan sehari-hari menjadikan peserta didik tersebut kehilangan jati dirinya.

Sedangkan internal yaitu faktor yang berasal dari dalam diri peserta didik itu sendiri. Misalnya dipengaruhi oleh pendidikan di lingkungan keluarga yang sejatinya mengajarkan sopan santun kepada anaknya.

Lebih baik jika orang tua ikut berperan dalam pembentukan etika pada anak. Dan orang tua dituntut untuk mengajarkan nila-nilai tersebut.

Mengajari anak tidak dapat dilakukan dalam satu hari, namun proses demi proses. Sehingga menghasilkan penerus bangsa yang paham akan budaya, tata krama, dan sopan santun di kemudian hari.

Pendidikan Bahasa Jawa, khususnya krama inggil juga bisa digunakan sebagai alternatif bagi orang tua sebagai sarana mendidik anak untuk lebih mengerti sopan santun dalam bertutur kata. Apalagi sekarang dengan adanya pandemi ini anak lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah bersama orang tuanya, untuk mengerjakan berbagai tugas yang dilaksanakan secara daring.

Pembelajaran mengenai unggah – ungguh berbahasa Jawa tersebut yang diterapkan peserta didik setiap harinya sebagai solusi. Yaitu, untuk tetap melestarikan budaya sopan santun di Indonesia. (*)

 

*Rizka Hanifah, S.Pd
Guru SMP Negeri 2 Plantungan, Kendal, Jawa Tengah

Apa Tanggapan Anda ?