Siedoo.com - Kajian Dialektika para pemuda. | foto : Lovita Ivan Hidayatullah
Opini

Dialektika Para Pemuda Membaca Magelang

Siedoo, Membaca Magelang, Membaca untuk Indonesia, adalah tema yang dibahas dalam kajian “Dialektika” di Pendopo Sudirman Satu, Jl. Sudirman Nomor 1, Sawitan, Mungkid Magelang, Jawa Tengah. Digawangi oleh seorang akademisi bernama Zuhron Arafi, Forum Dialektika ini dimaksudkan untuk menjaga daya nalar kritis (intelektualitas), berdialog dan berliterasi di Kabupaten Magelang.

Di awal diskusi, Zuhron yang merupakan dosen Universitas Muhammadiyah Magelang (Unimma) menyampaikan “Gerakan revolusi di dunia (Revolusi Prancis, Revolusi di Indonesia, dll), diawali oleh mereka- meraka yang memiliki daya nalar kritis dan selalu menghidupkan budaya nalar, yaitu literasi dan discuss. Mempertemukan jalan-jalan pikiran, agar terangkum menjadi sebuah dialektika / gagasan yang bermakna.

Magelang dengan kawah candra dimuko – nya, yaitu “Kemegahan Candi Borobudur”, haruslah mampu menjadi semangat, bisa menambah daya nalar pemuda untuk berfikir, berintrospeksi diri, kaitannya pengkajian keilmuan (aspek filosofis maupun praktis). Pertanyaannya, “Kenapa para funding parent dahulu telah mampu melahirkan teknologi yang luar biasa (Candi Borobudur : Arsitektur, relief, dll)?

Kajian ini dihadiri sejumlah pemuda, akademisi, pendidik, tokoh yang peduli tentang literasi dan pendidikan. Seperti, Zuhron Arafi, Agus Sugiyono, Lovita Ivan Hidayatullah, Sigit Priatmaji, Muslim, Sapari, Hendy, Bang Dul, Muhammad Ainur Rofiq, Muhammad Lukmanul Hakim, Unimma TV.

Bang Dul juga menyampaikan, meminjam bahasanya Mardigu “Ada teknologi dibalik membangunnya Candi Borobudur”. Jangan-jangan orang-orang dijaman pra penjajahan lebih mahir dalam bidang teknologi.

Hendy dalam penyampaian gagasannya tentang “Paradoks Borobudur”, di Kabupaten Magelang, yaitu Kecamatan Borobudur menjadi salah satu kecamatan yang masuk dalam daftar kecamatan termiskin. Sebagaimana kita ketahui, Borobudur telah menjadi kawasan strategis nasional sepeti halnya terdapat 20 Balai Ekonomi Desa (Balkondes), home stay, rumah makan, hotel, dll.

Baca Juga :  HUT TK Negeri Pembina ke-21, Adakan Lomba Pojok Baca

Akan tetapi, dampak dan manfaat dari berdirinya kawasan strategis nasional tersebut, ternyata belum bisa dirasakan oleh warga masyarakat di Kecamatan Borobudur sampai saat ini. Terlepas karena sudah banyaknya tanah-tanah warga yang telah dijual kepada orang-orang bukan asli daerah (asing + aseng).

Hal itu, demi menangkap geliat ekonomi yang menguntungkan sebelah pihak, tanpa memperdulikan keberlangsungan dan kesejahteraan warga masyarakat sekitar Borobudur. Dari kaitan tersebut, haruslah pemerintah daerah berfikir lebih serius, guna memaksimalkan sosialisasi akan makna kawasan strategis nasional dan pentingnya keberlangsungan ekonomi warga sekitar Borobudur.

Karena, jangan sampai masyarakat asli Borobudur, dalam keberlangsungan hidupnya lama-kelamaan akan merasa tersingkirkan.

Pariwisata Mengesampingkan Tempat Peribadatan

Zuhron mengemukakan, ia pernah mengadakan sebuah penelitian tentang kehidupan beragama di tahun 2008, dalam pertemuannya dengan seorang Bante. Ia mengungkapkan, setelah Borobudur menjadi kawasan pariwisata di Kabupaten Magelang, bagi mereka, “Harga diri kami merasa terinjak-injak. Kami tidak ada ruang untuk melakukan peribadatan secara khusyuk”.

Ketika ditinjau dari pendekatan Hak Asasi Manusia, ini menjadi salah, karena “hak asasi beribadat” di tempat ibadah sendiri telah dijadikan sebagai pusat pariwisata, demi kepentingan ekonomi, dan Negara telah menghilangkan esensi ruhiyahnya (peribadatan). Sebagai alternatif solusinya, Walubi telah mendirikan 12 vihara yang dikhususkan untuk 12 sekte besar agama Buddha.

Agus Sugiyono peserta diskusi lain juga menambahkan, dalam kaitannya Borobudur dan Magelang, “Bahwa Pemimpin besar di Indonesia banyak lahir dan pernah tidur di Magelang. Akan tetapi ironis, saat ini di Kecamatan Borobudur, ada sebuah lembaga pendidikan diruntuhkan, demi membangun sebuah gapura”.

Selain daripada Kecamatan Borobudur masuk dalam kategori miskin, tanah-tanahnya bukan milik pribumi. Bagi dia, pasti ada yang salah dalam sistem pengelolaannya.

Baca Juga :  Bacalah ! Tragedi Nol Buku Bangsa Indonesia

Suroso Singgih P. mengungkapkan, pemerintahan kita ini dikelola dengan sistem “geguyon”. Harusnya kita punya bergaining position di mata dunia, karena Magelang adalah kota penyangga.

Masih berbicara tentang ironi, setelah dijabarkan diawal, bahwa homestay, tempat makan, hotel, dll bukan milik pribumi. Pribumi hanya mampu menikmati manfaat kawasan pariwisata melalui, lahan parkir, jasa toilet, dll (ironi bukan).

Selain itu, dalam forum ini juga dibahas tentang problematika kesenjangan sosial, potensi keunggulan daerah Magelang, pendidikan, kebijakan pada tataran teknis, studi kasus embung desa, dll.

Pada poinnya, “Magelang dibangun bukan hanya melalui perkara instan atau selera jangka pendek. Melainkan pasti melalui proses yang cukup panjang”.

Oleh karenanya, forum dialektika ini menjadi bukti sejarah, awal daripada peradaban tersebut, dengan selalu mengedepankan nalar kritis dan literasi diantara para pemuda di Kabupaten Magelang. Menjaga kondisi intelektualitas agar tetap fresh dan tetap terjaga melalui disiplin ilmu yang berbeda-beda.

Dari kajian tersebut, Dialektika ini diharapkan dapat melahirkan konstruksi keilmuan yang jelas dan konstruktif, seperti selayaknya para funding parent terdahulu. Harapan lain dari diskusi ini adalah Membaca Magelang, juga sudah termasuk dalam membaca Indonesia. (*)

 

*Lovita Ivan Hidayatullah
Pegiat Pendidikan dari Magelang dan salah satu peserta Dialektika

Apa Tanggapan Anda ?