Siedoo, Dengan adanya pandemi Covid-19, terjadi perubahan di berbagai aspek kehidupan. Diantaranya, dunia pendidikan. Yaitu, pola pembelajaran daring (jarak jauh) yang mulai ditetapkan pada Maret 2020 oleh Pemerintah Indonesia, hingga saat ini.
Pendidikan yang seharusnya dapat dilakukan melalui cara tatap muka (offline) di sekolah, kini semua dilakukan secara daring. Disinilah peran orang tua menjadi titik tumpu utama. Oleh karena itu, yang terpenting bagaimana cara kita bisa melewati pola pendidikan yang baru itu dengan hal positif.
Sebagai mahasiswa, perlu penekanan pentingnya peran orang tua dalam proses pembelajaran daring. Meskipun dalam hal ini orang tua akan merasa tugasnya dua kali lipat dengan adanya pelajaran anak di rumah.
Meski sebenarnya banyak diantara orang tua siswa yang kurang paham atau bahkan tidak mengetahui tentang pelajaran anak yang sedang mereka hadapi. Tidak jarang orang tua merasa kesal, emosi, dan akhirnya orang tua menjadi lepas tangan. Dengan membiarkan anak-anak mereka untuk belajar individu tanpa dampingan dan pengawasan orang tua.
Metode sekolah daring (jarak jauh), sayangnya tidak meminimalisir aspek literasi. Dimana pada pembelajaran daring, anak hanya mengakses soal-soal secara online di ponsel atau laptop yang mereka punya, yang menjadikan kurangnya budaya membaca bagi anak.
Banyak sekali hal seperti itu terjadi ketika siswa SD, SMP, dan SMA telah selesai mengerjakan tugas-tugas dari sekolah, yang mungkin hanya dilakukan 2 hingga 3 jam untuk menyelesaikannya.
Setelah itu, ketika tugas sudah diserahkan, selebihnya waktu yang tersisa mereka gunakan untuk bermain dan menjadikan kurangnya budaya literasi bagi siswa yang seharusnya bisa didapat dengan sistem pembelajaran tatap muka (offline).
Sampai saat ini, dapat dirasakan bahwa metode terbaik tetap menggunakan literasi. Pendidikan jarak jauh atau PJJ seharusnya tidak menggunakan alat digital sepenuhnya. Akan tetapi, alat digital hanya sebuah kontrol.
Tugas tetap secara tertulis menggunakan buku pelajaran dan hasil pengerjaan dikirim secara online. Saya pikir itu metode yang sangat tepat untuk jenjang SD yang latar belakangnya masih usia anak-anak.
Permasalahan yang terjadi bukan hanya terdapat pada sistem media pembelajaran. Akan tetapi juga ketersediaan kuota yang membutuhkan biaya cukup tinggi bagi siswa dan guru, guna memfasilitasi kebutuhan pembelajaran daring.
Kuota yang dibeli untuk kebutuhan internet menjadi melonjak dan banyak diantara orang tua siswa yang tidak siap untuk menambah anggaran dalam menyediakan jaringan internet. Hingga pada September 2020, pemerintah memberikan kuota bantuan belajar. Namun, kuota belajar tidak semuanya bisa terpakai dengan baik, mengingat pembelajar bukan hanya dari Google Meet ataupun Zoom.
Melainkan ada media lain seperti WhatsApp yang juga menjadi platform pembelajaran. Kecilnya jumlah kuota reguler yang diberikan membuat sebagian siswa terpaksa membeli kuota tambahan.
Mau pembelajaran jarak jauh ataupun secara tatap muka, jangan pernah menghilangkan budaya literasi. Karena dengan adanya literasi, akan sangat berguna untuk wawasan, imajinasi, dan juga kreativitas peserta didik.
Secanggih apapun teknologi yang berkembang, tetap tidak akan bisa menggantikan efektivitas pembelajaran secara tatap muka, yang lebih menekankan kepada budaya literasi. (*)
*Ikwan Nuddin
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Trunojoyo Madura, Jatim