YOGYAKARTA – Pluralistis kultural di Indonesia telah diakui oleh dunia. Fenomena ini menunjukkan negara Indonesia sebagai bangsa dengan beragam suku, ras, bahasa, budaya, dan agama serta tercipta karena geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan.
Berdasarkan hal tersebut, Indonesia tercatat sebagai “lokus klasik” bagi konsep masyarakat majemuk (plural soviety). Kemajemukan masyarakat Indonesia disatukan dalam semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang berarti berbeda-beda, tetapi tetap satu jua. Persatuan Indonesia harus senantiasa dipelihara agar kedaulatan negara tetap terjaga.
Potret harmonis kemajemukan yang secara turun-temurun dipelihara, terusik adanya sisi lain primordialisme. Paham primordialisme berbicara tentang fanatisme kesukuan yang memegang teguh pengalaman sejak dini. Baik mengenai adat istiadat, tradisi, kepercayaan, maupun sesuatu yang ada di lingkungan pertamanya.
Primordialisme akan menciptakan sikap etnosentris yang sering dipandang negatif. Sikap ini memandang orang lain dengan filter budayanya sendiri, tanpa memperhatikan latar belakang budaya mereka. Dampaknya adalah muncul persilihan, konflik, peperangan, bahkan berakhir perpecahan antarsuku.
Sikap etnosentris dapat disebabkan pengetahuan tentang keberagaman suku dan etnis di Indonesia yang kurang, khususnya ketika masih usia dini. Pengalaman sosial emosional anak pada usia dini menentukan perkembangan sosial emosional pada usia berikutnya. Keberagaman dongeng yang ada di Indonesia dapat dijadikan sarana untuk mengantarkan anak usia dini pada karakter nasionalisme.
Dari latar belakang inilah sekelompok mahasiswa prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni UNY melakukan penelitian tentang klasifikasi dongeng nusantara. Berdasarkan unsur instrinsik sebagai media penguatan karakter nasionalisme anak. Mereka adalah Angger Gilang Praditama, Resmardian Fathi Shafarizki dan Luailik Mushoffa.
Menurut Angger Gilang Praditama dongeng dapat menjadi salah satu sarana pendidikan karakter. Karena pada umumnya tentang budaya daerah setempat yang mengandung nilai luhur dan moral.
“Fokus penelitian ini mengklasifikasikan dongeng nusantara berdasarkan tema dan latar tempat” kata Gilang, Selasa (15/12/2020).
Tema yang dipilih tentang toleransi, kerukunan, dan sikap menghargai antarsuku, ras, budaya, dan agama. Pemilihan tema ini bertujuan untuk menanamkan karakter nasionalisme dan akan memberikan gambaran tentang kehidupan suatu masyarakat tertentu melalui kisah yang ada dalam dongeng.
Adapun pemilihan latar tempat guna menunjukkan betapa luas wilayah negeri ini dengan keunikannya masing-masing dan mencegah dampak negatif etnosentris. Latar tempat secara tidak langsung juga mengenalkan anak usia dini pada daerah-daerah di Indonesia melalui cara yang menarik dan menyenangkan.
Anak usia dini perlu wawasan nusantara agar terhindar dari dampak negatif sikap etnosentris yang dapat memecah belah Indonesia. Resmardian Fathi Shafarizki menambahkan objek penelitian ini adalah 92 dongeng dari seluruh Indonesia.
“Kami melakukan analisis terhadap tema dan latar dongeng yang terdapat dalam buku dongeng Nusantara. Dongeng yang diteliti dari seluruh pulau besar yang ada di Indonesia yaitu Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, dan Papua,” paparnya.
Sementara itu, Luailik Mushoffa menjelaskan dari 92 dongeng yang dianalisis diketahui bahwa 11% tema yang ditemui adalah tentang kerukunan. Disusul dengan tema toleransi sebanyak 3% dan tema tanggungjawab sebanyak 1%.
“Dari latar tempat, 47% berada di Pulau Sulawesi, 16% dari Pulau Sumatera, 14% dari Pulau Kalimantan, 13% dari Pulau Jawa, dan 10% dari Pulau Papua,” jelasnya.
Kemudian, setelah melakukan analisis, para mahasiswa melakukan klasifikasi dongeng-dongeng yang dapat meningkatkan karakter nasionalisme pada anak, yaitu dongeng-dongeng yang memiliki tema toleransi, kerukunan, dan tanggung jawab. Dari klasifikasi yang dilakukan terpilih 14 judul dongeng dari 5 tempat yang ada.
Adapun judul dongeng yang telah melalui proses analisis dan termasuk kategori dongeng yang dapat meningkatkan karakter nasionalisme adalah ‘Sang Danding Anak Janda Miskin’. Kemudian dongeng ‘Si Kelingking’, ‘Bujang Jambi’, ‘Tun Telani, Kecerdikan Seekor Penyu’, ‘Hikayat si Buta Jadi Raja’, ‘Lakina Jawa’, ‘Kera Dengan Jin Beringin’’. Serta ‘Putri Junjung Buih’, ‘Putri Tadampalik’, ‘Terjadinya Air Garam di Yiwika’, ‘Kampung Berbentuk L’, ‘Hilangnya Kampung Kewoyo’ dan ‘Terbentuknya Kampung Tablanusu’.
“Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu orang tua dan guru dalam memilih dongeng yang akan diberikan kepada anak. Khususnya dongeng yang mengandung unsur nasionalisme,” terang Luailik.
Disampaikan, kegiatan ini berhasil meraih dana Dikti dalam Program Kreativitas Mahasiswa bidang Penelitian Sosial Humaniora tahun 2020. (Siedoo)