YOGYAKARTA – Salah satu bencana geologi yang sering melanda wilayah Indonesia yaitu gempa bumi. Gempa bumi tektonik adalah gerakan atau hentakan bumi secara tiba-tiba akibat pelepasan energi yang terakumulasi disebabkan oleh tumbukan lempeng. Hal itu pernah terjadi di Yogyakarta pada 27 Mei 2006 dengan kekuatan sebesar 5,9 skala Richter. Gempa bumi yang menelan korban jiwa sebanyak kurang lebih 5.500 jiwa dan ribuan warga luka-luka.
Sesar (patahan) aktif penyebab gempa tersebut diidentifikasi membentuk garis lurus di mulai dari pusat gempa pada koordinat 8,007º LS-110, 286º BT (1 kilometer dari garis pantai Parangtritis) ke arah timur laut sampai ke Prambanan. Daerah yang dilewati sesar itu yakni Depok, Tirtohargo, Ngambangan, dan Gondowulung di Yogyakarta. Sesar itu berada 10 kilometer dari Yogyakarta atau sekitar 5 kilometer dari Bantul.
Untuk mengurangi risiko bencana dapat dilakukan melalui tindakan manajemen kebencanaan. Setiap wilayah mempunyai cara masing-masing dalam tindakan manajemen kebencanaan. Tindakan tersebut menyesuaikan dengan potensi bencana yang dimiliki dan kebiasaan masyarakat yang berlaku.
Dengan demikian, metode yang mempertimbangkan kearifan lokal juga perlu dimanfaatkan untuk mendukung prosedur tetap sebagai metode yang telah dibakukan dalam pengurangan risiko bencana. Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) tertarik untuk mengkaji mitigasi bencana gempa bumi berbasis implementasi kearifan lokal pada masyarakat sekitar Sesar Opak Bantul. Mereka adalah Jainudin dan Anisa Hanan Qonita prodi Pendidikan Geografi serta Nur Fauzi prodi Ilmu Administrasi Publik.
Menurut Jainudin kearifan lokal pada masyarakat sekitar Sesar Opak Bantul antara lain berupa pengenalan tanda-tanda alam dan pengenalan perilaku hewan. Serta sistem kehidupan masyarakat yang berupaya untuk menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang berbahaya.
“Kearifan lokal berupa perilaku dan budaya masyarakat dalam upaya beradaptasi dengan kondisi tempat tinggal yang memiliki potensi bahaya gempa bumi yaitu masyarakat membangun rumah joglo sebagai bangunan tahan gempa” katanya.
Penelitian ini dilakukan di desa Parangtritis dan desa Donotirto (Kecamatan Kretek) serta desa Bawuran dan desa Segoroyoso (Kecamatan Pleret). Metode yang digunakan selain observasi dan wawancara juga menggunakan dokumentasi dan studi pustaka.
Anisa Hanan Qonita menjelaskan kearifan lokal dalam mitigasi bencana pada masyarakat yaitu pengenalan tanda alam (semiotika fisikal) berupa suara gemuruh apabila akan terjadi bencana gempabumi serta terbentuknya retakan-retakan tanah apabila akan terjadi bencana longsor. Perilaku hewan (semiotika) fauna tidak banyak dijumpai.
”Pengenalan tanda dari hewan apabila akan terjadi bencana adalah keluarnya hewan yang hidup di dalam tanah apabila akan terjadi bencana gempabumi” kata Anisa.
Tanda-tanda dari hewan dapat berupa munculnya hewan-hewan seperti ular, semut-semut, kelabang, dan binatang yang biasa hidup di tanah secara tiba-tiba keluar ke permukaan. Jika gempa itu terjadi saat musim dingin, hewan seperti ular seharusnya hibernasi di dalam tanah, namun jika sewaktu-waktu banyak yang keluar, maka bisa diprediksi akan terjadi gempa.
Dari segi bangunan, selain joglo, masyarakat di sekitar Sesar Opak juga banyak yang membangun rumahnya dengan model rumah tahan gempa. Seperti pondasi minimal memakai besi 12 mm, sistem pengecoran dengan pasir, coral, dan semen, harus ada ring dan slope sebagai penahan guncangan, dan sebagainya.
Rumah tahan gempa ini sudah diterapkan di beberapa desa karena biaya yang lebih murah dibanding membangun rumah tahan gempa. Seperti rumah kayu (joglo) yang memiliki resiko lebih rendah dibanding rumah tembok. Rumah Joglo memerlukan biaya yang tinggi karena keseluruhan rumah menggunakan kayu.
Penelitian yang dilakukan para mahasiswa ini berhasil meraih dana dari Fakultas Ilmu Sosial UNY. (Siedoo)