Siedoo, Global warming merupakan fenomena dimana terjadi peningkatan suhu yang mencapai 1 derajat Celsius setiap tahunnya. Menurut NOAA (The National Oceanic and Atmospheric Administration) tahun 2019 merupakan tahun kedua terpanas setelah tahun 2015. Suhu bumi mengalami kenaikan 1,15 derajat Celcius.
Kerusakan global warming tersebut menyebabkan lingkungan perairan menjadi tidak stabil. Hal tersebut ditandai dengan perubahan arus, suhu, dan curah hujan. Demikian dipaparkan dosen Departemen Manajemen Kesehatan Ikan dan Budidaya Perairan (MKI-BP) FPK Universitas Airlangga (Unair), Luthfiana Aprilianita Sari, S.Pi., M.Si.
Luthfiana mengatakan hal itu pada webinar Kajian Keilmiahan Mahasiswa (KAKEMA) Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga. Webinar diadakan di Zoom dan live YouTube bertajuk “Teknologi Terkini Mikroalga Dalam Akuakultur”, Rabu (1/7/2020).
Di laman unair.ac.id (1/7/2020), Luthfiana menjelaskan pemanasan global terhadap makhluk hidup memiliki kerusakan yang berdampak terhadap kehidupan organisme. Salah satu dampak dari global warming adalah mempengaruhi kelimpahan dan keanekaragaman plankton dan mikroalga di dalam perairan.
Luthfiana menjelaskan bahwa mikroalga merupakan golongan fitoplankton di mana hidupnya melayang mengikuti arus tunggal maupun koloni yang berada di seluruh perairan. Ia menyebutkan, mikroalga merupakan rantai makanan paling dasar yang menjadi sumber makanan bagi organisme konsumen tingkat atas.
Luthfiana memaparkan global warming akan sangat berpengaruh terhadap perairan tertentu, terutama perairan estuari (perairan payau). Pergerakan atau dampak pertemuan antara sungai dan laut menjadikan tingginya unsur hara. Hal itu merupakan indikator pertumbuhan mikroalga. Selain unsur hara, beberapa parameter seperti suhu, pH, salinitas, oksigen terlarut, arus, dan cahaya, mempengaruhi pertumbuhan mikroalga.
Salah satu parameter yang berpengaruh adalah curah hujan, arus air, dan arah angin juga mempengaruhi kelimpahan mikroalga dalam perairan.
“Terjadinya perubahan arah angin dari arah timur ke barat. Arus yang muncul adalah arus laut di mana nutrien yang masuk ke perairan tersebut sangat kurang,” paparnya.
Dikatakan Luthfiana, fenomena seperti perubahan warna yang disebabkan Chlorophyceae dan Bacillariophycea dan jumlah nutrien yang diikuti kelimpahan mikroalga, berdampak terhadap keanekaragaman organisme. Perubahan parameter seperti arus, suhu, dan angin yang saling berkesinambungan juga turut berpengaruh.
“Ketika nutrien meningkat, maka mikroalga semakin meningkat dan perairan terjadi peningkatan atau perbaikan jumlah keanekaragaman,” katanya.
Dijelaskan juga, antara bulan Januari hingga Juni, perairan Sedati didominasi oleh green algae (Chlorophyceae), lalu di musim selanjutnya didominasi oleh bacillariophycea. Sementara di bulan Agustus terjadi puncak arus yang tinggi menyebabkan jumlah kelimpahan plankton juga rendah.
“Fenomena inilah yang mungkin akan terjadi perubahan lagi ketika fluktuasi musim pancaroba dan akan ada perubahan baru lagi. Terlebih lagi kondisi lingkungan menjadi lebih baik ketika pandemi Covid-19,” tutup Luthfiana. (*)