Siedoo.com - Ahli reptil dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Ganjar Cahyadi. l foto : itb.ac.id
Daerah

Ahli Reptil ITB Beberkan Seluk Beluk Ular Kobra, Kenali Lingkungan Anda

BANDUNG – Belakangan ini heboh pemberitaan ular kobra. Ular mematikan tersebut muncul di pemukiman warga di beberapa daerah di Indonesia. Kehadirannya pun perlu diwaspadai. Termasuk, tempat-tempat yang berpotensi menjadi sarang atau tempat nyaman bagi binatang melata tersebut.

Ahli reptil dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Ganjar Cahyadi mengatakan, musim penghujan merupakan masa di mana ular bereproduksi. Dijelaskan ular memiliki fase reproduksi. Sekarang musim hujan di mana termasuk musim ular menetas.

“Perilaku kobra itu biasanya menyimpan telur di sarangnya. Biasanya sarang bekas tikus, atau di tempat-tempat lembab, tumpukan sampah. Dia simpan telurnya. Lalu ketika awal musim hujan akan menetas,” ujarnya dilansir dari itb.ac.id.

Jika banyak ular ditemukan di suatu lokasi, kemungkinan tempat tersebut merupakan habitatnya atau sebagai area ular mencari makan. Seperti diketahui, salah satu makanan bagi ular adalah tikus. Tikus biasanya banyak di rumah-rumah.

“Kobra itu tipikal ular yang melepas anak-anaknya. Dia tidak menjaga anak-anaknya. Karena, anak kobra ketika menetas sudah memiliki taring dan kelenjar bisa. Jadi, sudah bisa mencari makan sendiri,” ujarnya.

Berbicara tentang ular, sangat diperlukan untuk mengetahui jenis dan perilakunya agar masyarakat bisa melakukan langkah antisipasi yang tepat.

Kurator Museum Zoologi, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB ini menyatakan, untuk ular yang berbisa, dapat dikelompokkan pada dua famili. Yaitu, Elapidae dan Viperidae. Ular yang termasuk Elapidae contohnya adalah Naja sputatrix (kobra jawa), Bungarus candidus (ular welang), dan Calliophis intestinalis (ular cabai).

Sementara untuk kelompok viperidae, cirinya adalah bagian kepala berbentuk seperti segitiga. Kalau di daun warnanya hijau dan jika di tanah warnanya kecoklatan.

“Ular berbisa memiliki taring yang mengeluarkan bisa. Selain itu dari perilakunya juga dapat terlihat kalau ular berbisa lebih santai dalam bergerak. Tapi, kalau didekati akan melakukan upaya perlindungan diri atau menyerang. Sementara ular tidak berbisa, tidak memiliki taring dan bila didekati akan kabur,” ujarnya.

Baca Juga :  Dr. Mardiyati dari ITB, Olah Tutup Botol Jadi Bahan Printing 3D

Ciri lain dari ular berbisa dapat dilihat dari warna atau coraknya. Ular berbisa lebih mencolok warnanya. Misalnya ular cabai yang mempunyai garis warna merah di tubuhnya, kemudian ular bungarus memiliki warna hitam putih.

“Namun khusus untuk ular kobra, yang mencolok adalah karena warnanya hitam legam. Perilaku ular kobra, kalau terancam akan menaikkan tubuhnya dan mengembangkan rusuknya. Bahkan dapat menyemburkan bisanya ke arah mata,” tambahnya.

Adapun, ular yang melancarkan gigitan bisa terjadi karena dua faktor. Pertama untuk memangsa. Kedua untuk mempertahankan diri dari ancaman. Gigitan ular pun, dijelaskan Ganjar, bisa terjadi dua kemungkinan lain. Yaitu, gigitan berbisa dan gigitan kering (dry bites). Namun, hal itu sulit untuk dijelaskan.

Lalu bagaimana cara penanganan medis pertama bagi orang yang terkena gigitan ular? Menurutnya, setiap kali seseorang digigit ular maka harus selalu waspada bahwa gigitan tersebut memiliki atau mengandung bisa. Yang perlu dilakukan pertama kali adalah imobilisasi atau meminimalisasi gerakan pada area terkena gigitan ular.

“Perlakuannya seperti pada patah tulang. Jadi kita memasang kayu yang diikatkan dengan perban elastis di bagian tubuh yang terkena gigitan. Usahakan area yang tergigit tidak bergerak sama sekali untuk mencegah area peredaran bisa dengan cepat. Akan tetapi jangan diikat terlalu kencang. Setelah dilakukan upaya tersebut, barulah dibawa ke fasilitas kesehatan,” ucapnya.

Dijelaskan Ganjar, seringkali ada beberapa tindakan yang salah dalam penanganan terhadap gigitan ular. Saat terkena gigitan ular, melukai lokasi yang terkena gigitan atau membakarnya sangat dilarang karena dapat terjadi infeksi. Dilarang pula menghisap darah di lokasi gigitan karena racunnya dapat termakan.

“Yang paling bagus sesuai saran WHO yaitu imobilisasi di area gigitan,” tambahnya.

Baca Juga :  Kurangi Risiko, Diperlukan Kearifan Lokal Dalam Mitigasi Bencana

Selain itu, Ganjar juga menyarankan kepada masyarakat untuk mengetahui dan mengidentifikasi beberapa pengetahuan dasar tentang ular.

Jadi saat korban gigitan dibawa ke dokter, dia akan tahu bahwa telah digigit jenis ular apa. Apakah berbisa atau tidak, warna serta coraknya, dan lain-lain. Sehingga dapat diaplikasikan obat anti-bisa yang tepat dari jenis ular yang telah menggigit.

Sebagai himbauan, Ganjar menyarankan kepada masyarakat untuk selalu menjaga kebersihan rumah dan lingkungan di sekitar rumah. Hindari banyaknya tumpukan-tumpukan benda, baik sampah, kardus, atau bekas barang yang seringkali dijadikan rumah bagi ular untuk bersarang. (Siedoo)

Apa Tanggapan Anda ?