Siedoo, Indonesia memang memerlukan berbagai wadah, ajang, fasilitas, dan pembiayaan dalam pengembangan bakat untuk generasi muda. Baik itu pelajar maupun mahasiswa. Bangsa ini sangat berterimakasih bila ada lembaga swasta, perusahaan dalam negeri, ataupun luar negeri yang andil dalam mengembangkan bakat untuk prestasi anak-anak Indonesia.
Banyak perusahaan swasta Indonesia yang telah berkontribusi untuk kemajuan berbagai bidang, termasuk bidang olahraga. Salah satu contoh wadah pengembangan bakat olahraga, khusunya badminton, adalah PB Djarum. Hingga kini, atlet didikan PB Djarum telah banyak mengukir prestasi di cabang olahraga bulu tangkis.
Hal itu tidak dapat dipungkiri siapa pun. Sementara di sisi lain, negara ini juga tentu akan melaksanakan undang-undang produk sendiri sebagaimana mestinya. Seperti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014.
Undang-undang tersebut mengatur tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Selain itu, ada pula Peraturan Pemerintah Nomor (PP) 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Namun terkadang hal tersebut menjadi hal yang bertolak belakang, yang seharusnya bisa disikapi dengan bijak. Seperti yang menjadi polemik akhir-akhir ini. Di mana Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang meminta agar PB Djarum mencopot logo, merek, dan brand image Djarum di audisi badminton.
Pertimbangkan manfaat dan mudaratnya
Memang Ketua KPAI, Susanto, menyatakan, masyarakat tidak boleh salah persepsi terkait polemik yang terjadi seputar penyelenggaraan audisi Djarum. Dilansir di kompas.com (12/9/2019), tujuan pihaknya meminta PB Djarum mencopot logo, merek, dan brand image Djarum di audisi badminton lebih untuk menjalankan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tersebut.
Sedangkan pihak PB Djarum keberatan melakukan permintaan KPAI. Mereka menyatakan PB Djarum adalah klub bulu tangkis yang berbeda dengan perusahaan rokok Djarum. Nah, di sinilah yang perlu kita cermati, agar semua bisa melihat dengan kacamata edukasi.
Menurut penulis, perlu dipertimbangkan manfaat dan mudaratnya tentang pencantuman logo, merek, dan brand image tersebut. Kemudian dilihat juga apakah pencantuman logo, merek, dan brand image tersebut berarti peserta ajang tersebut juga pasti menggunakannya? Atau brand tersebut mengajak anak-anak untuk memakainya? Tentu tidak.
Memang brand image yang diperdebatkan adalah merek rokok, namun sudah jelas dikatakan bahwa PB Djarum bukan perusahaan rokok. Ditandaskan PB Djarum adalah wadah pengembangan bakat olahraga khususnya olahraga badminton.
KPAI pun juga tidak salah karena menginginkan semua masyarakat termasuk lembaga, seperti PB Djarum, menjalankan undang-undang negara ini. Namun, sekali lagi, mari kita lihat dengan kacamata edukasi.
Sehingga, meskipun melaksanakan undang-undang pun perlu disiapkan segala sesuatunya yang mendukung, atau setidaknya menyediakan alternatif agar tak terjadi benturan.
Eksploitasi atau prestasi?
Bukan berarti penulis membela salah satu pihak, namun secara edukasi prestasi, yang dilakukan PB Djarum adalah benar. Pihak PB Djarum mendidik atlet-atlet agar berprestasi di bidang olahraga badminton. Pihak KPAI pun juga benar agar pihak mana pun untuk tidak mengekploitasi atau menggunakan anak-anak dalam menjual produk tertentu, untuk orang dewasa.
Namun penulis melihat bahwa anak-anak yang mengikuti audisi badminton PB Djarum semata-mata ingin mengembangan bakat dan ingin meraih prestasi di bidang badminton, bukan ingin merokok atau melariskan rokok. Sehingga penulis melihat dengan kacamata pendidikan, anak-anak tersebut bukan diekploitasi tapi ingin berprestasi. Dalam hal ini jelas PB Djarum telah berkontribusi dalam bidang pendidikan olahraga.
Membuat undang-undang minim benturan
Pemerintah, dalam hal ini mungkin melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga dapat duduk bersama KPAI dengan berbagai pihak terkait untuk lebih melihat dengan kacamata pendidikan tentang ‘benturan’ undang-undang yang menjadi acuan KPAI dengan pencarian bibit-bibit juara badminton atau lainnya.
Mungkin KPAI bila ingin andil serta dalam bidang pendidikan anak-anak Indonesia, di negeri ini masih ada ribuan anak jalanan dan anak terlantar yang belum tersentuh pendidikan. Bahkan kadang mereka diekploitasi untuk keuntungan pihak-pihak tertentu.
Dengan membuat wadah pendidikan untuk anak jalanan atau anak terlantar, maka tidak hanya melaksanakan undang-undang, namun sudah melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34, yang menyebutkan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”.
Atau dibuatlah undang-undang yang minim benturan, karena setidaknya polemik KPAI versus PB Djarum mirip dengan benturan antara Komnas HAM dengan pendidikan (dalam hal ini perlindungan guru) yang berakibat banyak guru dilecehkan muridnya. Banyak anak yang kurang berakhlak dan bertatakrama. Namun, itu kini sudah ada solusinya, bagaimana KPAI dan PB Djarum bersikap. Sekali lagi, silakan dilihat dengan kacamata pendidikan. (*)
*Narwan, S.Pd
Guru SD Negeri Jogomulyo, Tempuran, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah