Siedoo.com -
Inovasi

Solusi dari Ancaman Tujuh Kebutuhan Dasar Dunia

Siedoo, Terdapat tujuh kebutuhan dasar yang dunia butuhkan saat ini. Pertama, ialah udara bersih, air bersih, makanan (pangan), kesehatan, hunian (tempat tinggal), energi di rumah (listrik), dan terakhir transportasi.

Mengenal krisis di bidang pangan bahwa salah satu persoalan yang akan dihadapi generasi selanjutnya ialah krisis pangan sebagai akibat produksi pangan melalui pertanian bergantung langsung dengan  pupuk nitrogen buatan yang selama ini diproduksi dari gas alam atau batubara.

“Gas alam dan batubara menuju habisnya, pupuk nitrogen tidak mampu lagi disediakan, produksi pangan dunia akan anjlok tanpa pupuk nitrogen ini,” kata Prof. Ir. Yazid Bindar M.Sc., Ph.D., Guru Besar pada Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung (ITB), Jawa Barat.

Ia menyampaikan itu berkaitan erat dengan solusi untuk mengatasi krisis pangan dan energi di masa depan. Ketergantungan terhadap energi fosil menjadi hal yang harus dikhawatirkan oleh generasi saat ini.

Diprediksi 40 tahun ke depan, dunia akan mengalami penurunan produksi energi fosil baik itu dalam minyak bumi, batu bara, maupun gas. Seperti diketahui, sumber energi dari fosil termasuk bahan bakar yang tidak dapat diperbaharui sehingga suatu saat akan habis.

Menurut Prof. Ir. Yazid, bahan bakar dalam bentuk minyak untuk selalu dibutuhkan. Meskipun sudah mulai diproduksi bahan bakar minyak dari minyak nabati seperti  yang bersumber dari minyak sawit, namun jumlahnya belum cukup untuk memenuhi kebutuhan akan bahan bakar minyak untuk saat  ini dan kedepan.

“Generasi sekarang harus mempersiapkan itu, karena permasalahan masa depan, seluruh kehidupan dunia bergantung pada energi fosil,” ungkapnya.

Salah satu yang digagas adalah teknologi pirolisis biomassa dengan memanaskan biomassa hingga 600 derajat celcius yang menghasilkan produk cair yg disebut sebagai bio-crude oil, produk gas berupa bio-pyrolysis gas dan produk padat dalam bentuk bio-char.

Prof. Ir. Yazid menjelaskan, dalam dunia pertanian, dikenal istilah intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi dapat diartikan sebagai upaya untuk meningkatkan hasil pertanian tanpa memperluas lahan pertanian yang telah ada, salah satu caranya ialah dengan penggunaan pupuk. Sementara ekstensifikasi adalah upaya meningkatkan hasil pertanian dengan memperluas lahan.

Baca Juga :  Sapto Wahyu, Dosen ITB Menganalisa Informasi Tak Kasat Mata melalui Kasat Mata

Masalah Ketersediaan Pupuk

Mengenai penggunaan pupuk sebagai cara intensifikasi pertanian, Prof. Yazid menganalisis bahwa pada 40 tahun kedepan, dunia akan mengalami masalah ketersediaan pupuk seiring dengan terjadinya krisis energi fosil. Hal itu bisa diketahui dari bahan pembuatan pupuk yaitu dari nitrogen dari udara dan hidrogen dari gas alam atau batubara menjadi ammonia.

Ammonia diubah menjadi berbagai bentuk pupuk nitrogen yang salah satunya berupa urea. Sementara bahan bakar fosil sendiri akan mengalami krisis dengan menuju masa habisnya.

Kondisinya saat ini, produksi pertanian sangat mengandalkan sekali pupuk untuk menggenjot hasil produksi. Ketergantungan inilah yang dikhawatirkan oleh Prof. Yazid jika krisis pupuk terjadi. Maka solusi mengenai hal tersebut ialah penyiapan tanah secara alami melakukan penambatan nitrogen.

Penambatan nitrogen alami ini  menjadi terbantu secara efektif dengan penambahan bio-char ke tanah pertanian. Program penambahan bio-char ke lahan pertanian harus dilakukan secara rutin dan sistematis dari sekarang.

Sebagai analisa berbasiskan data, Prof. Yazid merumuskan kajian permasalahan pangan dan solusinya dalam tulisannya  dengan judul “Carbohydrate Foods Now and Future: Problems and Solutions within the limits on the world food supply capability.” Prof. Yazid menyampaikan bahan di atas dipresentasikan juga pada International Conference on Food and Bioenergy di Bandung pada tgl 30 Juli 2019.

Kalau suatu lahan tanpa pupuk, produksinya akan berkurang hanya tinggal sekitar 1/3 dari kemampuannya. Misalnya, kalau dulu satu hektare 5 ton sekarang tinggal 1,5 ton.

“Sementara penduduk semakin banyak, dan bagaimana upaya untuk mengatasi tersebut, yaitu dengan mengubah kultur konsumsi karbohidrat pengganti. Itu sulit karena kultur yang harus dirubah, pola pikir harus dirubah,” ucapnya.

Dalam kajiannya, ia menawarkan dua solusi atas persoalan tersebut, yaitu pertama keharusan menjalankan  “sustainable agriculture” dan kedua menyiapkan pangan-pangan karbohidrat selain beras dan gandum untuk sumber makanan pokok.

Baca Juga :  SUPIR MALING, Produk Karya TIM KKN UNAIR dan PKK Alasmalang Banyuwangi

Dalam hal ini mengkulturkan orang-orang untuk makan dari sumber karbohidrat selain dari yang dua di atas. Salah satu program dalam “Sustainable agriculture” adalah penggunaan Bio-Char sebagai  bahan perbaikan dan rehabilitasi lahan pertanian. Bio-char merupakan arang yang dihasilkan dari pirolisis biomassa.

Bio-Char ini memilik manfaat yaitu, dapat meningkatkan PH tanah, meningkatkan mikrobiologi di tanah, memperbaiki tanah, sebagai green house emisi gas, meningkatkan kualitas hasil panen, mempertahankan nutrisi tanah, menyuburkan tanah, mampu bertahan di kala di kala kekeringan, dan menyeimbangkan kandung karbon tanah.

Pembuatan Bio-Char

Pembuatan Bio-Char tesebut dilakukan di laboratorium workshop produksi biomassa dengan teknik pirolisis. Biomassa tersebut diproses dengan alat bernama Pyrolyzer hasil kerja sama dengan BDPKS untuk biomassa sawit dan RTC Pertamina untuk biomasa selain sawit. Alat ini mampu bekerja dengan temperatur 300-600 derajat celcius.

Pirolisis sendiri merupakan teknik mengurai bahan organik melalui proses pemanasan hingga menjadi produk cair, produk gas dan produk padat sebagai bio-char.

Bagaimana proses pembuatannya? Pertama ialah biomassa dihaluskan terlebih dahulu. Biomassa ini bisa berasal dari segala jenis tumbuhan yang kerap dimanfaatkan untuk bahan bakar. Seperti kayu, tempurung kelapa dan lain-lain. Kemudian, dipanaskan hingga 600 derajat celcius.

Biomassa ini bisa berasal dari segala jenis tumbuhan yang kerap dimanfaatkan untuk bahan bakar. Seperti kayu, tempurung kelapa dan lain-lain. | foto : Humas ITB

Lalu biomassa tersebut berubah terdekomposisi menjadi bentuk volatile (senyawa yang mudah menguap) kemudian didinginkan, bahan yang terkondensasi menjadi bio-crude oil dan yang berbentuk gas dikembalikan untuk dibakar kembali.

“Sisanya berupa arang yang disebut sebagai Bio-Char. Itu tidak kita jadikan sebagai energi tapi kita gunakan untuk merehabilitasi tanah,” ujarnya.

Pemanfaatan Bio-Char yang kaya akan karbon sebagai penyubur tanah tersebut, mampu bertahan di tanah dalam jangka waktu yang lama. Namun butuh proses tidak serta merta sebagaimana kinerja pupuk.

Baca Juga :  Cegah Peretasan, Mahasiswa ITS Surabaya Kembangkan Aplikasi Countract

“Cuman masalahnya kan kita mau atau tidak mengalami penurunan produksi dulu karena tidak menggunakan pupuk,” tuturnya.

Prof. Yazid saat ini juga sedang menyiapkan sistem produksi bio-char secara industri untuk kebutuhan bio-char dalam jumlah besar untuk pertanian keberlanjutan masa depan dengan ketidakadaan pupuk nitrogen berbasis bahan bakar fosil. (*)

Apa Tanggapan Anda ?