Siedoo.com -
Tokoh

Prof Satria : Indonesia Relatif Tidak Terdampak Medan Magnet Bumi

Siedoo, Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof. Satria Bijaksana memberi komentar terkait laporan dari jurnal Nature yang dirilis 9 Januari 2019. Inti laporannya bahwa pergerakan medan magnetik bumi kini terjadi dengan cepat meninggalkan Kanada dan menuju Siberia.

Dalam sebuah diskusi bertema “Bagaimana Medan Magnetik Bumi Berubah dan Dampak Perubahan bagi Manusia” yang diselenggarakan KK Geofisika Global, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB, di Aula Gedung Eneri Kampus ITB, baru-baru ini, memberikan penjelasan panjang lebar.

Prof. Satria menyatakan, yang disampaikan para ilmuan dalam jurnal tersebut sebetulnya adalah hasil observasi mereka yang menunjukkan bahwa magnetik bumi berjalan cepat.

“Hal itu menjadikan dua konsen dari penelitian tersebut. Yaitu, dari sisi ke praktisan, peta-peta navigasi yang dibuat harus segera diperbarui, dan mereka harus memikirkan penyebab perubahan magnetik itu,” kata Prof. Satria.

World Magnetik Model digunakan oleh semua sistem navigasi. Model tersebut diperbarui setiap lima tahun sekali. Namun, karena medan magnet telah bergerak begitu cepat, pembaruan diperlukan lebih cepat dari itu. Untuk membuat perubahan peta secara cepat, perlu proses yang panjang dan lama karena memerlukan data dari seluruh dunia.

“Variasi mengenai medan magnetik bumi memang perlu untuk diketahui namun tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Sebab, Indonesia yang terletak jauh dari kutub magnetik relatif tidak terdampak,” ujarnya.

Dampak dari perubahan magnetik bumi yang terbesar akan dirasakan di daerah kutub utara, sebab arah navigasi bergeser.

Sekilas tentang Medan Magnetik

Dalam diskusi tersebut, Prof. Satria menjelaskan medan magnetik bumi sudah ada setidaknya 4.2 miliar tahun lalu. Medan magnetik bumi ini sangat bermanfaat dalam menentukan arah dalam kompas/navigasi.

Sementara itu, pengukuran intensitas medan magnetik bumi pertama di Indonesia dilakukan oleh de Rossell pada 9 Oktober 1792 di Surabaya dan 9 Mei.

Baca Juga :  Menristekdikti : MWA Menentukan Arah Kebjakan Kampus ITB

“Medan magnetik bumi pada dasarnya sangat lemah. Tidak terdeteksi langsung oleh indra manusia. Pada dasarnya berbentuk dipol dengan dua kutub yang sering disebut kutub utara dan kutub selatan. Arah dan intensitas medan sangat bervariasi, umumnya bergantung pada posisi lintang,” katanya.

Saat ini, medan magnetik bumi sedang melemah. Namun tidak perlu menjadi kekhawatiran sebab kemungkinan akan menguat kembali. Trennya sekarang medan magnetik itu melemah, namun tak perlu ditakutkan karena itu melemah biasa.

“Kalau dilihat dari rekaman sejak dulu pernah melemah dan naik lagi,” katanya.

Dijelaskan, pembangkit medan magnetik sendiri yaitu adanya arus listrik akibat gerakan bahan yang bersifat konduktif pada inti bumi bagian luar. Bumi menjadi generator elektromagnetik raksana.

Hal ini sering disebut sebagai Teori Dinamo. Meskipun secara prinsip sederhana, rinciannya masih tidak diketahui dengan pasti baik itu sifat sisi, material pada inti luar, mekanisme gerak fluida, interaksi dengan bidang batas, dan sebagainya.

“Berdasarkan sejarah, bahwa belum ada kejadian medan magnetik bumi sampai pada angka nol. Akan tetapi, pembalikan medan magnetik pernah terjadi di bumi. Pemicunya, bisa kemungkinan akibat dari tumbukan meteor, jatuhnya lempeng benua ke mantel, atau adanya mantle plume yang baru pada bidang batas antara inti dan mantel bumi,” paparnya.

Ia memaparkan, ada hal-hal menarik tentang medan magnetik bumi, yaitu bahwa medan magnetik bumi tidak berimpit dengan sumbu rotasi bumi bahkan tidak melalui pusat bumi. Medan magnetik bumi masih dapat diukur hingga sejauh 7 sampai 10 kali diameter bumi. Karena itu, satelit meskipun berada di luar bumi masih bisa dikendalikan memakai medan magnetik bumi.

Medan Magnetik dan Solar Wind

Medan magnetik bumi berperan dalam melindungi bumi dari solar wind atau aktivitas matahari yang menghasilkan radiasi berupa partikel bermuatan sebagian besar proton yang panas dan berenergi tinggi dari matahari. Menurut Prof. Satria, hal ini justru yang perlu menjadi perhatian.

Baca Juga :  Guru Besar ITB Prof Herri Susanto, Berbicara Penelitian Gasifikasi di Indonesia

Lapisan medan magnet yang menyelubungi bumi itu disebut magnetosfer. Ada beberapa kondisi yang terjadi pada magnetosphere saat berinteraksi dengan solar wind, yaitu jika solar wind lemah, maka magnetosfer mengembang, jika solar wind menguat maka magnetosfere mengecil.

Periode di mana intensitas solar wind meningkat itu disebut sebagai badai geomagnetik (geomagnetic storm). Badai ini dapat terjadi saat erupsi CME (coronal mass ejection) di matahari yang menghasilkan gelombang kejut pada tata surya.

Badai magnetik ini yang dapat menyebabkan gangguan di antaranya kerusakan jaringan telegraf tahun 1859, kerusakan jaringan listrik di Kanada tahun 1989, kerusakan sepertiga satelit Nasa pada 2003.

“Dengan semakin bergantungnya kita pada telekomunikasi dan komunikasi satelit, maka perlu disadari bahwa mungkin terjadi gangguan akibat interaksi antara medan magnetik bumi dengan solar wind,” katanya. (*)

Apa Tanggapan Anda ?