TEMANGGUNG – STAINU Temanggung, Jawa Tengah terus menggalakkan tradisi literasi. Salah satu buktinya, mahasiswa perguruan tinggi di kabupaten yang terkenal dengan pertembakauannya itu berhasil menuntaskan penulisan buku. Terbaru, empat buku dilaunching oleh Pembantu Ketua I Bidang Akademik Dr. Baedhowi, M.Ag, Sabtu (16/3/2019).
Buku yang sudah resmi mendapat ISBN dan KDT dari Perpusnas RI tersebut adalah “Sejarah dan Legenda Desa di Temanggung, Magelang dan Semarang”, “Problematika Anak MI/SD dan Solusinya”, “Tradisi-tradisi Islam Nusantara Perspektif Filsafat dan Ilmu Pengetahuan”, dan “Cetak Biru Pendidikan Indonesia Tahun 2045”. Semuanya ditulis mahasiswa-mahasiswi Prodi PAI dan PGMI secara berjamaah yang diterbitkan penerbit Formaci, CV. Pilar Nusantara, CV. Harian Jateng Network.
Baedhowi menegaskan, penulisan buku tersebut sangat luar biasa karena ditulis mahasiswa semester satu. “Saya teringat suatu cerita, bahwa Nabi Muhammad SAW menegaskan adalah kotanya ilmu. Sedangkan Sayyidina Ali adalah pintunya meskipun beliau paling muda. Saya berharap, mahasiswa meskipun masih muda sudah berkarya dan melestarikan tradisi keilmuwan,” kata doktor jebolan UIN Sunan Kalijaga tersebut.
Dalam kesempatan itu, penulisnya seperti Nurul Hidayah, Puji Rahayu, M. Khoiril Azmi dan Habibi mempresentasikan isi buku. Selain pemateri dari perwakilan mahasiswa, hadir Ketua Lembaga Penjamin Mutu (LPM) STAINU Temanggung Khamim Saifuddin, Sekprodi PAI Sigit Tri Utomo yang mewakili Kaprodi STAINU Temanggung, dan Pimred Majalah Ma’arif PWNU Jawa Tengah Hamidulloh Ibda.
Saat memaparkan kritik buku, Sigit Tri Utomo menegaskan bahwa tradisi literasi tidak hanya membaca, namun juga menulis dan mengarsipkan. “Zaman Nabi Muhammad Alquran belum berbentuk muzhaf, kemudian zaman Khalifah Usman bin Affan, barulah kemudian Alquran dimuzhafkan. Itulah bukti sejarah bahwa menulis dan mengarsipkan itu penting. Di STAINU, ada Anda yang baru semester satu sudah menulis buku, ini luar biasa dan wajib diapresiasi,” katanya.
Ia juga memaparkan, kekurangan buku pada metodologi penghimpunan data. “Misal wawancara, maka harus orang banyak dan harus dianalisis sesuai metode yang digunakan agar tulisan berbobot,” katanya.
Sementara itu, Hamidulloh Ibda menambahkan orang meriset ibarat menggali sumur dan parit. Diibaratkan, jika menggali sumur, maka yang difokuskan adalah kedalamannya. Jika menggali parit, itu keluasannya.
“Maka di buku ini, meskipun sudah terbit, perlu dibenahi pada aspek kedalaman dan keluasan dan tidak sekadar deskriptif saja,” papar penulis buku Media Literasi Sekolah tersebut.
Ia juga menambahkan, kekurangan buku pada kelemahan mahasiswa yang belum detail membedakan metode kutipan. Baik innote, endnote maupun footnote. “Tapi Anda semester satu sudah menerbitkan buku, bagi saya itu luar biasa. Saya saja dulu semester delapan baru bisa menerbitkan buku,” katanya.
Pihaknya menjelaskan, dari keempat buku itu, mahasiswa mulai berlatih mengasah nalar intelektual agar tidak kagetan, gumunan, dan memiliki bekal untuk menilai tradisi-tradisi Islam Nusantara, sejarah dan legenda desa, mencari solusi problematika anak SD/MI, serta mampu meneropong masa depan pendidikan Indonesia tahun 2045.
Khamim Saifuddin juga menegaskan beberapa artikel ilmiah dalam buku sudah memenuhi kaidah akademik. “Sekilas, bahasanya masih curhatan ABG, belum seperti curhatan ilmuwan. Tapi, saya apresiasi yang tinggi, karena ini adalah wujud mutu mahasiswa,” tutur penulis buku KH. Ilyas Kalipaing tersebut. (Siedoo)