JAKARTA – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tengah mempersiapkan penggunaan AKSI (Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia) sebagai sistem penilaian untuk pemetaan kualitas pendidikan pengganti Ujian Nasional (UN). Sistem asesmen baru ini digadang-gadang menggantikan UN yang kini dinilai semakin rendah nilai kegunaannya.
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Kemendikbud, Hamid Muhammad mengatakan, AKSI dirancang mirip dengan PISA (Programme for International Students Assessment).
“AKSI ini mirip PISA. AKSI akan diterapkan di Indonesia,” kata Hamid dilansir suaramerdeka.com.
Kasubag Hukum Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Ditjen Dikdasmen) Kemendikbud, Any Sayeti, menjelaskan penerapan AKSI itu memang baru sebatas wacana. Akan tetapi untuk realisasinya belum ke arah sana.
“Wacana tersebut muncul lantaran mutu pendidikan di Indonesia tergolong rendah. Hal itu berdasarkan penilaian dari PISA,” jelasnya dilansir medcom.id.
PISA merupakan sistem penilaian tingkat dunia yang diselenggarakan tiga tahun sekali, untuk menguji performa akademis anak-anak sekolah yang berusia 15 tahun. PISA diselenggarakan Organisasi untuk Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi (OECD).
AKSI Gunakan HOTS
Menurut Any, tujuan studi ini untuk menguji dan membandingkan prestasi anak-anak sekolah di seluruh dunia, supaya meningkatkan metode-metode pendidikan dan hasil-hasilnya. Menurutnya, AKSI juga nantinya tidak membebani anak didik. Sebab, tidak mempengaruhi hasil belajar.
Sistem itu digunakan untuk Higher Order Thinking Skills (HOTS) anak didik dalam menghadapi tes PISA. Soal yang digunakan juga tak berbeda jauh dengan PISA.
“Memang meningkatkan kompetensi siswa itu PR-nya ada di meningkatkan kompetensi guru. Kita harus meningkatkan kompetensi guru dulu, baru siswanya meningkat. Tapi kalau siswanya pintar, guru yang biasa pun bisa membuat siswanya berhasil,” ujar Any.
Any mengatakan, meningkatkan kualitas guru memang tak semudah membalikkan telapak tangan, semua itu butuh proses. Karenanya, ada penerapan redistribusi guru lewat Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), untuk pemerataan kualitas dan kuantitas pendidikan dasar dan menengah nasional.
“PPDB tidak hanya untuk zonasi, tapi pemerataan guru,” ucap Any. (Siedoo)