Siedoo, Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (Fapet-UGM), sejak 2015 menjalin kerja sama dengan industri pengembang rumput dan legume, Cropmark Seed Company, New Zealand. Cropmark Seed merupakan salah satu perusahaan yang bergerak dalam industri eksportir biji rumput dan legum terkemuka di dunia.
Awalnya, Fapet melaksanakan ujicoba pada lebih dari 30 jenis rumput dan legum dari Cropmark New Zealand untuk dievaluasi potensi pengembangannya di Indonesia. Hasil studi awal, Fapet menemukan 3 jenis yang sangat potensial dan adaptif dengan kondisi agroekologi Indonesia. Salah satunya adalah tanaman forbs Chicory.
Chicory merupakan sejenis forbs, yaitu tanaman pakan herbaceous (bukan kayu) berdaun lebar dan tidak seperti rumput. Sehingga tidak termasuk kategori rumput maupun legum. Jenis tanaman ini banyak terdapat pada ladang penggembalaan dengan masa hidup dua tahun atau lebih.
Chicory penting untuk meningkatkan produktivitas ladang penggembalaan. Di negara asalnya, New Zealand, Chicory menjadi tanaman andalan bagi ternak sapi perah maupun domba di padang penggembalaan.
Fapet UGM sangat optimis bahwa tanaman Chicory Intibus mampu menjadi pakan unggul di Indonesia. Riset yang telah dilakukan menunjukkan bahwa produksi Chicory di Indonesia lebih besar 2-3 kali lipat dibandingkan dengan produksi di negara asalnya.
“Hasil riset yang telah kami lakukan, Chicory mampu beradaptasi dengan baik di sini. Dengan kandungan protein kasar yang tinggi (25,5% BK) dan serat kasar yang rendah (26,0% BK). Dibandingkan dengan tanaman pakan legum yang umum dibudidayakan di Indonesia, kandungan nutriennya jauh lebih baik. Ini menjadi keunggulan utama dari tanaman ini,” ujar Dekan Fapet UGM, Prof. Dr. Ir. Ali Agus, DAA., DEA., IPU, dikutip dari laman ristekdikti.go.id.
Produktivitas tinggi
Ali menambahkan, Chicory yang ditanam di kebun rumput Fapet UGM dapat menghasilkan produksi segar sebanyak 55 ton/hektare pada umur potong 30 hari dengan kadar air sekitar 18%. Pada musim kering (Agustus 2017-Februari 2018), Chicory dapat menghasilkan produksi hijauan sebanyak 27,5 ton/hektare setiap kali panen.
“Jika panen dilakukan setiap bulan, maka produksi Chicory pada musim kering dapat mencapai 330 ton/hektare/tahun atau sekitar 60 ton bahan kering/hektare/tahun,” ungkapnya.
Menurut Ali, produksi ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Chicory yang ditanam di New Zealand dengan bahan kering berkisar 8-19 %. Protein kasar 20-26 % dan kandungan serat kasar 20-30 %. Di New Zealand, produksi bahan kering yang dihasilkan sebanyak 8-16 ton/hektare/tahun.
“Hal ini membuktikan produksi Chicory 3-4 kali lebih tinggi dibandingkan poduksi di negara asalnya. Kesuburan lahan di Jawa menjadi salah satu faktor pendukung produktivitas yang tinggi,” tuturnya.
Tim peneliti proyek terdiri atas Ir. Nafiatul Umami, S.Pt., M.P., Ph.D., IPM., Dr. Ir. Bambang Suhartanto, DEA, dan Slamet Widodo, S.Pt. Serta Dr. Tim Cookson dan Brian Thorrington, perwakilan Cropmark Seed Company New Zealand.
Tim peneliti tersebut menyatakan, Chicory sangat cocok dikembangkan di Indonesia dan yakin akan mampu menyumbang kemajuan pakan ternak Indonesia. (*)