SURABAYA – Terdapat enam komponen utama untuk menyukseskan pengurangan risiko bencana (PRB). Yaitu, membangun kesadaran, pengembangan pengetahuan, komitmen kebijakan dan kepemimpinan sebagai faktor utama, penerapan kaidah-kaidah standar PRB.
“Selain itu, juga perlu peran serta dan partisipasi masyarakat, memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, memikirkan, dan menyatakan pendapat terkait upaya PRB,” kata Prof Syamsul Maarif, mantan kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sekaligus salah seorang yang mendirikan BNPB.
Ia menyampaikan itu saat Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya bekerjasama dengan Himpunan Ahli Pengelolaan Pesisir Indonesia (HAPPI) menyelenggarakan Seminar dan Loka Karya (Semiloka) Nasional Bencana. Kegiatan ini juga juga dilaksanakan untuk memperingati Hari Nusantara yang jatuh pada 15 Desember.
Prof Syamsul dalam materinya menyampaikan tentang studi-studi tentang tingkat risiko bencana. Seperti gempa bumi, tanah longsor, banjir, maupun pencemaran sangat tergantung karaktersitik dari komunitas dan kelompok masyarakatnya.
Sehingga upaya untuk mengurangi kerentanan atau meningkatkan ketahanan tergantung pada relasi antara kesadaran terhadap bencana dan partisipasi masyarakat, kondisi ekosistem. “Serta manajemen tata ruang yang diterapkan di wilayah tersebut,” jelas pria yang menjabat sebagai kepala BNPB selama sembilan tahun ini.
Acara ini digelar tidak lepas dari wilayah laut yang sangat luas. Indonesia harus waspada dengan potensi meningkatnya risiko bencana bagi masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir. Berlatar hal tersebut, Pusat Studi Kebumian, Bencana, dan Perubahan Iklim (PSKBPI) menghelat kegiatan ini.
Ketua pelaksana, Lalu Muhamad Jaelani ST MSc PhD menyampaikan, kegiatan yang mengangkat tema Pembelajaran Pengelolaan Bencana di Kawasan Pesisir Indonesia 2018 tersebut bertujuan menggali pengalaman-pengalaman yang didapatkan, baik dari peserta maupun narasumber yang telah terjun langsung ke lokasi bencana. Diharapkan dapat menciptakan sebuah desain pengurangan risiko bencana yang berbasis komunitas masyarakat pesisir.
“Beberapa narasumber adalah orang-orang yang sudah sangat berpengalaman dalam hal ini. Sehingga, saya rasa kegiatan ini akan menghasilkan output yang positif,” jelas dosen Departemen Teknik Geomatika ITS ini.
Dosen yang juga menjabat sebagai Kepala PSKBPI ini menambahkan, permasalahan yang ditemui ketika terjadi bencana, jarang ditemukan solusinya di berbagai literatur. Hal tersebut dikarenakan permasalahan yang terjadi di lapangan sangatlah kompleks. Oleh karenanya, diperlukan dokumentasi terkait pengalaman serta pelajaran yang didapatkan di lapangan tersebut.
“Dengan berbagai pelajaran yang berharga tersebut, diharapkan kedepannya jika terjadi peristiwa serupa, kita sudah memiliki persiapan yang lebih matang,” jelas pria yang akrab disapa Lalu ini penuh harap.
Acara yang dihelat di Ruang Sidang Utama Rektorat ITS ini menghadirkan dua narasumber utama, selain Prof Syamsul Maarif juga Prof Dr Ir Dietriech G. Bengen DEA, seorang ahli pengelolaan pesisir yang berasal dari Institut Pertanian Bogor (IPB).
“Kami merasa sangat beruntung dapat menghadirkan kedua narasumber yang telah bertahun-tahun menggeluti bidangnya ini,” ujar pria asal Lombok ini sumringah.
Prof Dietriech menyampaikan, setiap unsur yang ada dalam suatu lingkungan, memiliki keterkaitan satu sama lain. Ia menyampaikan tiga pilar terkait pengelolaan pesisir, di antaranya adalah Ekologi, Sosial Budaya, dan Ekonomi.
Ketiga hal tersebut saling terhubung untuk menciptakan lingkungan yang diharapkan. “Namun, kenyataan sering berkata sebaliknya, Sosial Budaya dan Ekonomi malah merusak Ekologi, atau sebaliknya,” katanya prihatin.
Dietriech mengungkapkan dengan adanya ketidakseimbangan antara tiga pilar tersebut, dampak-dampak negatif banyak bermunculan. Di antaranya perubahan iklim, eksploitasi yang berlebihan terhadap sumberdaya hayati pesisir, meningkatnya pencemaran, dan lain-lain. Oleh karenanya, ia berharap ketika dilakukan kegiatan yang berkaitan dengan alam, perlu memperhatikan dampaknya dari berbagai sudut pandang. (Siedoo)