BANDUNG – Debit air di Situ Cipanunjang dan Situ Cileunca, Bandung, Jawa Barat semakin menyusut. Padahal kedua situ yang berlokasi di Pangalengan, Kabupaten Bandung itu merupakan pemasok utama air baku bagi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtawening Kota Bandung. Kondisi ini pun mendapat perhatian dari akademisi Institut Teknologi Bandung.
Dr. Mariana Marselina S. ST, MT., dari Kelompok Keahlian Teknologi Pengelolaan Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan (ITB) menyatakan bahwa, sedikitnya ada tiga faktor yang bisa menjadi penyebab Situ Cipanunjang dan Situ Cileunca mengering. Pertama karena disebabkan tata guna lahan di DAS Cisangkuy yang tergolong kritis ditambah kondisi cuaca yang ekstrim. Sehingga ketika basah semakin basah, dan ketika kering semakin kering.
Kedua karena pengelolaan waduk atau situ yang kurang optimal. Waduk yang seharusnya berfungsi sebagai penampung pada saat hujan dan dimanfaatkan ketika musim kering tidak berjalan sebagaimana mestinya.
“Sebetulnya kan idealnya seperti itu. Pengelolaan waduk harusnya mengikuti pengelolaan optimal,” jelasnya sesuai dengan siaran pers yang diterima Redaksi Siedoo.
Penelitian yang ia lakukan biasanya berdasarkan PP 37/2010. Dimana pengelolaan waduk mengikuti lintasan pedoman kondisi kering, normal, dan basah.
“Lintasan pedoman mengatur berapa air yang harus dikeluarkan di sana tiap bulan berdasarkan kondisi di tahun tersebut, jadi mesti dikelola optimal,” katanya.
Terlebih lagi, Cipanunjang Cileunca tergolong waduk series. Pengelolaan optimanya juga harus memperhatikan kondisi waduk di atasnya atau waduk sebelumnya.
Faktor ketiga, kata Dr. Marselina, equal sharing pemanfaatan waduk yang harus diperhatikan lagi antara fungsi waduk sebagai sumber air baku PDAM, Pembangkit Listrik Tenaga Air, juga irigasi. Namun ia memprediksi di mulai November 2018 akan terjadi penambahan debit air kembali karena secara siklus hidrologi sudah masuk pada musim penghujan.
Tiga faktor itu disampaikan Marselina berkaitan dengan musim kemarau yang tengah terjadi di Bandung dan sekitarnya. Ini membuat debit air di Situ Cipanunjang dan Situ Cileunca semakin menyusut. Padahal kedua situ yang berlokasi di Pangalengan, Kabupaten Bandung itu merupakan pemasok utama air baku bagi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtawening Kota Bandung.
Sekitar 60-70 persen pasokan air PDAM Tirtawening mengandalkan dari Situ Cipanunjang dan Situ Cileunca. Kedua situ tersebut juga menjadi pemasok air bagi PDAM Tirtaraharja Kabupaten Bandung. Akibat kondisi tersebut tentunya dapat menyebabkan terjadinya gangguan pendistribusian air bersih dari PDAM kepada masyarakat.
Saat ini, berdasarkan izin pemanfaatan air Sungai Cisangkuy untuk PDAM Kota Bandung adalah sebesar 1800 L/detik namun realisasinya adalah sebesar 1400 L/detik. Sedangkan untuk SIPA PDAM Kabupaten Bandung adalah sebesar 500 L/detik namun pada realisasinya adalah sebesar 200 L/detik.
Dr. Mariana Marselina S. ST, MT., ia bersama Prof Arwin Sabar dari Kelompok Keahlian Teknologi Pengelolaan Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan (ITB) mengatakan, jika dilihat dari realisasi ijin pemanfaatan saja, sebetulnya sudah kurang untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Apalagi ketika terjadi penyusutan air karena musim kering seperti saat ini.
Masalah lain dalam pemenuhan air baku adalah dikarenakan operasional waduk bergantung pada operasional PLTA. Dimana PLTA memiliki jam puncak (peak hour) pada pukul 18.00 sampai dengan 22.00. Untuk memenuhi jam puncak tersebut tidak menutup kemungkinan terjadi “penahanan” air baku.
Dimana kondisi tersebut mempengaruhi infrastruktur di-downstream salah satunya adalah sebagai suplai air baku untuk kebutuhan air minum yang mestinya terpenuhi terus menerus secara kontinyu.
Mengingat kebutuhan air baku yang semakin meningkat, sementara pasokan air dari sumber sekarang terbatas, Dr. Marselina menyarankan agar PDAM Kota Bandung perlu mencari sumber air baku lain. Dengan syarat, kualitas air tersebut harus nomor satu karena akan digunakan oleh masyarakat sebagai air minum.
“Membangun waduk baru bisa menjadi solusi tapi butuh waktu dan biaya lebih mahal. Jadi lebih baik mengoptimalkan sumber air yang sudah ada dulu, misalnya dari mata air. Namun tetap harus memperhatikan kualitas sumber air karena mau dibeli dan dikonsumsi masyarakat,” jelasnya.
Dalam kondisi sedang kekeringan seperti sekarang, dia berharap, masyarakat harus lebih bijak menggunakan air. Hargai air sebagai sesuatu yang mahal, gunakan dengan seoptimal mungkin dan jika ada yang punya kesempatan atau kondisi yang memungkinkan untuk melakukan konservasi air secara individu, maka sebaiknya dilakukan seperi sumur resapan atau penampungan air hujan misalnya. (Siedoo)