YOGYAKARTA – Dampak gempa dan tsunami di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah (Sulteng) masih menjadi perhatian banyak orang. Bahkan dampak dari gonjangan bumi itu, pemerintah sampai menerima bantuan internasional.
Ahli Geologi UGM Yogyakarta, Prof. Dr. Ir. Subagyo Pramumijoyo, DEA mengatakan terjadinya tsunami di Palu dimungkinkan karena adanya longsoran sedimen di bawah laut yang cukup besar. Dan, muncul akibat pergeseran lempeng.
Selain itu, lokasi Palu berada di ujung teluk yang sempit. Bentuk teluk menyempit ke daratan menjadikan gelombang tsunami mengarah ke Kota Palu.
“Dengan bentuk teluk yang menyempit, energi gelombang tsunami akan semakin kuat ke arah yang semakin dangkal,” terangnya dilansir dari ugm.ac.id.
Gempa bumi di dua tempat itu, tidak hanya mengakibatkan bencana susulan berupa tsunami. Tetapi, juga memunculkan fenomena tanah bergerak atau likuifaksi. Likuifaksi diketahui terjadi di daerah Sigi, Sulawesi Tengah.
Likuifaksi, disebutkan Subagyo, banyak terjadi pada tanah berpasir. Saat terjadi gempa, tanah yang berpasir tercampur dengan air tanah di bawahnya, melarut dengan air tanah dan menerobos rekahan tanah di permukaan.
Dari penelitiannya sejak tahun 2005 silam, Subagyo menyebutkan di daerah sepanjang Teluk Palu merupakan wilayah tanah dengan kontur mudah terjadi likuifaksi.
Ketebalan sedimen tersebut mencapai 170 meter. Daerah ini sebenarnya tidak aman untuk dijadikan tempat tinggal. Karena, berpotensi terjadi likuifaksi saat terjadi gempa.
Menjadi Pertemuan Tiga Lempeng Tektonik Dunia
Dijelaskan, Kota Palu dan Donggala merupakan titik pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia. Yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Pasifik, dan lempeng Eurasia.
“Palu dan Donggala berada di zona benturan tiga lempeng besar dunia. Sehingga menjadi daerah yang rawan terjadi gempa,” jelasnya.
Pergerakan lempeng-lempeng itu, mendorong pergerakan sesar geser Palu Koro yang mengakibatkan gempa pekan lalu. Sesar ini tergolong aktif karena pergerakannya mencapai 45 milimeter per tahun.
“Gempa di Sulawesi ini mekanismenya sesar geser yang tidak menimbulkan perubahan volume air laut atau dengan kata lain tidak memicu tsunami,” katanya.
Hingga awal bulan Oktober 2018 ini, korban tewas akibat bencana Palu dan Donggala mencapai 844 orang. Sementara korban luka mencapai 632 orang. Pengungsi yang sudah tercatat sebanyak 48 ribu orang.
Palu dan Donggala Masuk Zona Merah
Kepala Pusat Studi Bencana (PSBA) UGM, Dr. Djati Mardiatno, menilai kesiapsiagaan masyarakat dan pemerintah Sulawesi Tengah dalam menghadapi bencana gempa dan tsunami masih kurang.
Hal ini terlihat dari banyaknya korban jiwa maupun besarnya kerusakan infrastruktur akibat gempa.
Djati menyampaikan, daerah Palu dan Donggala sebenarnya telah diidentifikasi sebagai daerah rawan bencana gempa bumi dan tsunami. Bahkan, telah dimasukkan dalam zona merah rawan gempa.
“Kalau melihat potensi dan ancaman bencana di Palu, semestinya masyarakat dan pemerintah sudah siap. Namun, jika dilihat dampak gempa banyak fasilitas umum yang roboh. Sehingga ini menjadi pertanyaan akan keseriusan pemerintah dalam mengurangi risiko ancaman gempa bumi,” paparnya.
Pengalaman gempa yang melanda Aceh, Padang, Yogyakarta, Tasikmalaya, dan wilayah lain di Indonesia seharusnya menjadi pembelajaran bagi semua kalangan dalam menghadapi bencana.
Namun, melihat peristiwa bencana gempa di Palu beberapa hari lalu menuntut semua pihak untuk belajar kembali dalam membangun kesiapsiagaan menghadapi bencana.
“Bagaimana membangun budaya sadar bencana di semua kalangan,” jelasnya.
Upaya mitigasi bencana perlu diperkuat, baik mitigasi struktural maupun nonstruktural. Mitigasi struktural dengan penguatan bangunan publik yang tahan gempa, tsunami, maupun likuifaksi. Sedangkan mitigasi nonstruktural melalui peningkatan kapasitas masyarakat dan pemerintah dalam menghadapi bencana.
“Mitigasi struktural tidak akan bernilai lebih kalau masyarakat tidak peduli. Yang memegang peran utama adalah kapasitas masyarakat, sementara mitigasi struktural itu pendukungnya,” ujarnya.
Tata Ruang Perlu Perhatikan Potensi Ancaman Gempa
Djati juga menyebutkan kedepan dalam penataan ruang harus memperhatikan potensi dan ancaman bencana, guna meminimalkan risiko akibat bencana.
Konsep tata ruang dan wilayah seharusnya mengindahkan risiko bencana alam dengan tidak mengizinkan pendirian permukiman di daerah rawan bencana.
“Daerah yang terdampak bencana harus dikosongkan. Atau tetap dihuni tapi dengan menerapkan upaya mitigasi seperti dengan membangun fasilitas umum atau permukiman yang tahan gempa maupun likuifaksi,” tandasnya. (Siedoo)