JAKARTA – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy memberi warning kepada kepala daerah di seluruh Indonesia. Warning ini terkait dengan pengangkatan kembali guru honorer.
Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Jawa Timur ini mengaku sudah melayangkan surat ke bupati/walikota/gubernur. Mereka diminta untuk tidak lagi merekrut guru non PNS tersebut.
“Bisa kita pantau, jika ada yang melanggar, akan kami kenakan sanksi,” kata Muhadjir dilansir dari menpan.go.id.
Pihaknya minta kerja samanya dari berbagai pihak dalam rangka memuluskan intruksinya.
“Mohon kerja samanya,” lanjutnya.
Muhadjir pernah menjelaskan, sebagaimana ditulis detik.com, rendahnya gaji guru honorer saat ini lantaran hanya dibiayai pihak sekolah yang mempekerjakan. Hal ini karena guru honorer tidak terikat pada instansi manapun, melainkan diangkat oleh kepala sekolah.
“Gaji kecil karena tergantung kemampuan dari dana sekolah itu sendiri,” kata Muhadjir.
Biasanya, pihak sekolah menggaji guru honorer menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Walaupun, sebetulnya dana BOS tidak diperkenankan untuk menggaji guru honorer tersebut.
“Kepala sekolah itu biasanya menggaji mereka itu dari dana BOS. BOS itu memang penggunaannya sebetulnya tidak boleh, artinya tidak untuk menggaji honor. Itu untuk operasional, namanya saja Bantuan Operasional Sekolah, itu untuk sarana prasarana, penunjang kemudian untuk biaya-biaya yang diperlukan,” jelasnya.
Selain dari dana BOS, kata Muhadjir, ada juga beberapa pemerintah daerah (Pemda) yang sengaja menganggarkan dana Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerahnya (APBD) khusus untuk guru honorer.
Langkah itu jauh lebih baik dibanding menggaji guru honorer dengan menggunakan dana BOS, karena lebih mensejahterakan dan tak mengganggu anggaran sekolah. Sayangnya, masih sedikit Pemda yang menganggarkan dananya tersebut.
“Daerah-daerah (banyak) tidak berani (mengeluarkan) dana untuk itu, karena dikhawatirkan jadi temuan. Karena yang mengangkat (guru honor) yang bersangkutan adalah kepala sekolah, bukan kepala dinas,” tuturnya. (Siedoo)