Siedoo.com -
Internasional Nasional

Pro Kontra Dosen Impor di Kalangan Elit

JAKARTA – Lahirnya Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Tenaga Kerja Asing berdampak munculnya rencana didatangkan dosen luar negeri ke Indonesia. Di tahun 2018 ini bakal didatangkan 200 dosen impor. Mereka akan mengajar di beberapa universitas ternama di Indonesia. Di antaranya Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, dan Universitas Gajah Mada.

Yang cukup menyita perhatian khalayak ramai adalah gaji mereka. Dikabarkan akan menerima antara Rp 54 juta per bulan.

“Gajinya sekitar nol sampai $4.000 per bulan,” kata Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) Ali Ghufron Mukti sebagaimana ditulis Jurnal.com.

Dikatakan, tidak semua dosen asing yang akan mengajar di Indonesia meminta gaji. Mereka benar-benar memberikan ilmunya dengan cuma-cuma kepada mahasiswa.

“Sistemnya sharing,” tandasnya.

Syarat Dosen Asing Mengajar di Indonesia

Tidak semua dosen asing bisa mengajar di Indonesia. Ada syarat yang harus dipenuhi. Diantaranya:
1. Berasal dari perguruan tinggi peringkat 100 besar dunia.
2. H-index (Hirsch index) paling tidak 20
3. Pernah menulis proposal
4. Dapat pembiayaan dana internasional
5. Diutamakan ada hubungan akademik dengan penerima Nobel

Moeldoko Sambut Positif

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan, didatangkan dosen tersebut jangan dijadikan momok bagi masyarakat. Sebab, dengan adanya dosen asing, dosen dalam negeri berpikir keras untuk meningkatkan kualitas diri dan pendidikan tinggi di Indonesia.

“Kita harus melihat pada konteks yang positif. Jangan jadi bangsa yang serba ketakutan,” ujarnya sebagaimana ditulis merdeka.com.

Oleh karena itu, dia berharap kepada masyarakat dan para dosen lokal jangan memandang hal itu sebagai sebuah ancaman terhadap dunia pendidikan Indonesia.

“Tujuannya adalah hanya ingin memacu, tidak ada maksud lain. kalau tidak ada pembandingnya, kita akan merasa hebat sendiri,” tandasnya.

Baca Juga :  Ketika Smart City Dibicarakan para Pakar

Wakil Ketua DPRD Menolak

Sementara itu, Wakil ketua DPR yang membidangi industri dan pembangunan, Agus Hermanto mengaku tidak setuju terkait masuknya dosen asing. Sebab, di Indonesia sudah banyak tenaga pengajar berkualitas.

“Rasanya saya kurang sepaham. Karena profesor-profesor di Indonesia sudah cukup canggih, cukup hebat dan cukup mumpuni. Sehingga tentunya perlu diberikan kesempatan yang lebih besar,” ungkap Agus sebagaimana ditulis Jawapos.

Diketahui, saat ini banyak dosen-dosen Perguruan Tinggi turun gunung memasuki desa-desa guna melakukan pengabdian kepada masyarakat. Tenaga pengajar seperti ini selayaknya mendapat prioritas dari Kemenristekdikti.

Namun, Agus mengaku setuju, jika adanya tenaga pengajar asing jika itu didatangkan dengan tujuan pertukaran pengetahuan. Bukan sebagai dosen tetap di sebuah perguruan tinggi.

“Saya melihat kalau tujuannya untuk pertukaran pengetahuan, rasanya itu bisa saja dilaksanakan,” lanjut Agus.

Hal yang sama juga disampaikan Anggota Komisi X DPR M Nizar Zahro. Ia menyatakan bila Kemristekdikti mengimpor dosen tidak setuju. Bagaimanapun, kebijakan ini tetap saja menjadikan lulusan ribuan perguruan tinggi di Tanah Air seakan tidak ada gunanya.

“Lebih bagus dan terhormat kita memakai dosen kita sendiri. Apalagi itu akan menimbulkan kecemburuan karena fasilitas,” kata sebagaimana ditulis Jpnn.

Menristekdikti Membantah

Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir meluruskan polemik persoalan ada impor dosen yang selama ini bergulir diberbagai kalangan.

Menurutnya, tidak benar akan ada impor dosen besar-besaran. Yang ada adalah pertukaran dosen antara Indonesia dan luar negeri.

“Tidak ada impor dosen. Jangan berpikir ini seperti impor barang,” tegasnya sebagaimana ditulis Indonews.

Ditandaskan, program pertukaran dosen dilakukan untuk meningkatkan mutu dan peringkat perguruan tinggi tanah air. Mendatangkan dosen asing itu maksudnya mereka berkolaborasi dengan para dosen lokal.

Apa Tanggapan Anda ?